Al-Qur’an telah memberikan gambaran bahkan ciri-ciri orang yang disebut munafik, diantaranya Allah berfirman “mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya [QS 9: 57].
Orang-orang tua kita juga sering menyebut bahwa munafik itu adalah orang yang tidak sesuai perkataan dengan perbuatannya, berlagak kiyai tapi berhati syaitan, manusia bermuka manis tapi berhati busuk, juga manusia yang menjadi penghambat terselubung dalam membuat perubahan seperti halnya Abdullah bin Ubay bin Salul di masa permulaan Islam. Kalau dalam bahasa Aceh disebut dengan manusia yang dikeu be bue, di likoet be ek.
Ada apa sebenarnya dengan kata munafi’ ini sehingga hampir semua orang tidak suka dibilang sebagai munafik?, walaupun ada juga sebahagian orang yang justru mengakui dirinya sebagai munafik, padahal orang yang mengakui dirinya munafi’ yang penulis maksud sangatlah tidak wajar sebutan itu ada pada pribadinya. Dia adalah sahabat Rasulullah saw, Handhalah r.a.
Hanzalah ra, pada saat berada di majlis Rasulullah, seakan-akan dia merasakan tidak ada yang lebih penting selain dari apa yang disampaikan rasul tentang agama, namun begitu dia kembali kepada anak-istri, maka semua menjadi berubah tidak seperti saat di majlis rasul. Maka Hanzhalah menganggap kalau dirinya telah menjadi munafi’ karena ketidak konsistennya dia saat di depan dan di belakang rasulullah. Hanzhalah keluar rumah, lalu berteriak di depan orang; Hanzhalah munafi’ Hanzhalah munafi’.
Kita semua setuju, bahwa julukan munafik ini sangat tidak tepat atau salah alamat bila ditujukan kepada Hanzhalah.ra? Tapi di sini, kita tidak sedang mengatakan Handhalah r.a munafi’, akan tetapi dia sendiri yang mengatakan kalau dirinya seorang munafik karena kekwatiran beliau dengan keadaan beliau yang tidak konsisten dengan apa yang diucapkan Rasulullah kepadanya di saat di depan dan di belakang Rasulullah.
Hanzhalah merupakan sahabat nabi yang utama, orang yang syahid di medan Uhud dalam membela Islam, berperang dalam keadaan dirinya masih berhadats besar (junub) karena tidak sempat mandi hadats sebelum berangkat ke medan Uhud. Karena dalam keadaan berhadats besar, maka setelah syahid sebagai syuhada Islam di Uhud, maka jasad Hanzhalah harus dimandikan walaupun pada dasarnya seorang syahid tidak boleh dimandikan. Namun saat Rasulullah hendak memandikan jasadnya, ternyata para malaikan telah lebih dulu memandikannya, yang tersisa hanya tetesan air bekas pemandian. Subhanallah!
Hanzhalah juga merupakan salah satu di antara sahabat Rasulullah yang mendapatkan title radhiallahuanhu (r.a) dari Allah SWT atas jasa dan pengabdiaannya kepada agama ini. Dan kita yang hidup di penghujung dunia yang mungkin sebagian kita penuh nama kita dengan title-title akademik yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang memilikinya. Lantas, apa yang membedakan kita dengan Handhalah.r.a.
Hanzhalah telah menyebut dirinya sendiri sebagai munafik hanya disebabkan sedikit masalah yang dia ragukan tentang keadaan dirinya yang berbeda saat di depan dan di belakang rasul. Sedangkan kita dengan segudang bahkan mungkin telah mendunia kesalahan-kesalahan kita belum pernah menyadari ada sifat nifak ini pada pribadi kita, kita juga sangat tidak bisa terima andai seseorang mengatakan kita sebagai munafik apalagi mengakui diri sebagai munafik yang sesungguhnya. Sangat jarang!
Manusia munafik ini bisa dari berbagai golongan dan tingkatan; bisa saja dari kalangan atas sampai kalangan bawah. Merasa pencetus perubahan padahal begitu banyak amanah yang telah digelapkan demi kepentingan pribadi, merasa sebagai pendidik yang ideal padahal begitu banyak hal yang disampaikan kepada peserta didik hanya karangan belaka tanpa dasar ilmu pengetahuan, merasa sebagai pemimpin yang pro rakyat padahal begitu banyak amanah rakyat yang telah dilupakan dengan berbagai alasan.
Sebagai pendidik/ guru misalnya, ini merupakan amanah umat yang dititipkan kepada kita yaitu anak-anak bangsa untuk dididik supaya berilmu, beriman dan berakhlak sebab mereka merupakan ujung tombak bangsa di masa mendatang, harapan semua insan akan menjadi penggerak kemajuan yang lebih signifikan di era mendatang, jangan hancurkan masa depan mereka dengan kemunafikan kita mendustakan sumpah jabatan kita saat dilantik, masuk sekolah untuk mengajar suka-suka hati kita, sehari masuk tiga hari libur, apalagi kalau kita diamanahkan posisi kepala sekolah.
Begitu juga yang diamanahkan menjadi pemimpin, usahakan untuk mewujudkan hajat masyarakat minimal apa yang pernah kita janjikan kepada mereka di masa awal, dan bila kita tidak mampu melaksanakan itu karena faktor yang bermacam-macam dan itu bukan kemauan kita untuk tidak terlaksananya hal tersebut, maka alangkah bijaknya bila kembali kita sampaikan kepada masyarakat dengan terbuka lewat jalan musyawarah, karena umat juga tau kita manusia yang memiliki keterbatasan di sana sini, sebab bila kita diamkan tanpa penjelasan terhadap polemik yang terjadi, maka akan menimbulkan prasangka-prasangka negative, akhirnya saling hujat, saling serang yang akibatnya tidak berjalannya program yang direncanakan. Memang menjadi pemimpin itu tidak mudah, jangankan salah, yang benar saja bisa jadi salah. Demikian kurang lebih kata-kata yang pernah disampaikan presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono.
Yang menjadi mahasiswa, kita juga punya amanah besar dalam mengawal masa depan bangsa, kita yang akan menyambung peran orang-orang tua kita saat ini, amanah ini dijaga dengan sungguh-sungguh terutama sekali dengan mengikuti pendidikan dengan sebaik-baiknya, dan juga mengkritik yang salah dengan tujuan yang baik, tidak cuma pandai mengkritik, tapi tidak pandai dalam memberikan solusi. Tidak menghujat orang lain karena sesuatu yang tidak pasti nilai kebenarannya. Kita jadi pendukung setiap langkah yang ditempuh ulama atau umara dalam membuat kebijakan yang meutuah, bukan menjadi penghambat perubahan dengan berbagai aksi yang kita lakukan.
Juga, membiarkan atau mendukung terjadinya kemaksiatan di sekeliling kita yang sudah menjadi kebiasaan manusia modern saat ini dengan menonjolkan argument-argumen yang bermacam-macam tergantung kasus yang sedang terjadi. Bila dalam masalah penegakan syariat Islam di Aceh, kita sering mendengar alasan yang ditonjolkan dengan kebebasan berekspresi, modernisasi, hak azasi dan lain-lain. Anti terhadap hal-hal yang makruf begitu banyak yang menyuarakan dan memberikan dukungan dengan berbagai cara, mulai dari yang ngomong di kaki lima, media massa, internet, radio bahkan sampai dengan melakukan aksi-aksi di lapangan. Dan bahkan ada yang tanpa sedikitpun merasa bersalah kita mencaci, mencemooh sampai menfitnah orang-orang yang mencoba merintis jalan menuju perbaikan ummat. Astagfirullah al-‘Adhim.
Berani dan siapkah kita bila disebut munafik atau justru punya nyali untuk menyebut diri kita munafik seperti Hanzhalah?
Sifat ini sangat berbahaya, dan sifat ini disamping merusak tatanan kehidupan orang banyak juga merusak kepribadian kita sendiri sebagai pelakunya. Kita akan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri yang akhirnya akan kehilangan kepercayaan dari orang banyak, dan kalaupun kita mendapatkan kesenangan dengan cara mendustakan kebenaran, baik berupa materi, jabatan, ucapan terima kasih yang berlebihan dari orang yang kita bantu dengan jalan nepotisme, pujian dari banyak orang tentang kekritisan kita mengkritik, maka akhirnya juga akan mengantarkan kita kepada kebinasaan baik kebinasan di dunia lebih-lebih lagi kebinasan di akhirat. Nauzubillah!
Semoga kita semua diselamatkan dari sifat nifak ini. Dan kita usahakan untuk tidak mencoba menjadi manusia-manusia munafik sampai kapanpun, demi menyonsong hari esok yang lebih mulia dan bermartabat di mata dunia dan di mata Allah sebagai Sang Pencipta yang senantiasa memantau keadaan kita setiap saatnya. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang baik insya Allah tidak akan membuat kebanggan dan begitu juga mudah-mudahan komentar yang memojok dijadikan bahan intropeksi...