Mengenang Idul Fitri Pertama



Hari-hari yang diberkati dan dimuliakan cuma tinggal satu hari lagi, kesempatan untuk meraih kemenangan di bulan suci telah diambang pintu, meninggalkan kenangan manis bagi sebagian orang yang telah mampu menggunakan waktu selama puasa untuk beramal sebanyak-banyaknya.

Muslim yang sejati akan sangat berat melepaskan kepergian bulan suci ramadhan yang penuh berkah ini, bulan dimana sangat mudah untuk memperoleh rahmat dan ampunan Allah, yang mana salah satu malamnya merupakan lebih baik dari pada seribu bulan, yang juga bulan dimana kitab suci al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup umat manusia. Rasa sedih timbul karena belum tentu di tahun depan akan kembali bertemu dengan ramadhan, mungkin usia akan ditutup oleh Allah sebelum ramadhan tahun depan kembali hadir.

Esok hari di saat matahari menyinari mayapada, kita yang di Aceh bersama satu setengah milyar penduduk muslim lain yang ada di planet bumi ini bersama-sama bersahut mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil mengagungkan Allah azzawajalla. Gema takbir akan membahana di seluruh penjuru dunia dalam rangka merayakan hari kemenangan yang diberkati ini.

Sudah menjadi tradisi kita setiap menjelang hari raya, maka akan terlihat pemandangan di masyarakat kita dalam rangka persiapan menyambut kedatangan hari kemenangan ini, mulai dari anak-anak dengan segudang persiapan, dengan pakaian barunya, sepatu baru, sepeda baru bahkan senapan mainan untuk berhari raya bersama teman kerabatnya, juga tidak ketinggalan yang bapak-bapak maupun ibu-ibunya dengan agenda pegoet kueh uroe raya, ganti perabot rumah tangga, dan sebagainya. Ini semua dalam rangka merayakan hari kemenangan di hari idul fitri yang diberkati.

Intinya, semua kita akan menampakkan muka yang berseri-seri di pagi hari raya dan mudah-mudahan itu tidak mengalahkan kebahagiaan batin kita yang baru selesai mengikuti perjuangan melawan hawa nafsu selama sebulan penuh di bulan suci ramadhan.

Semua hal di atas memang hampir sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita di saat hari raya, dan itu sah-sah saja asal tidak terlalu berlebihan, semua berjalan sesuai kemampuan dan kebutuhan. Jangan sampai semua hal di atas itu mengesampingkan atau melupakan esensi dari tujuan hari raya itu sendiri.

Penulis masih teringat sebuah perkataan salah satu ulama kita yang mengatakan : Bukanlah hari raya dengan menggunakan pakaian baru, tetapi hari raya adalah yang ketaatannya kepada Allah bertambah.

Perkataan di atas mungkin akan menjadi barometer bagi kita yang sedang akan melangsungkan hari raya dalam waktu dekat ini, termasuk ke dalam golongan manakah kita, apakah lebaran kita hanya sekedar memamerkan berbagai perlengkapan dunia yang telah kita beli dengan menghabiskan banyak uang atau lebaran kita telah dapat membawa kita meraih kemenangan yang sesungguhnya, yaitu memperoleh ampunan Allah dan perubahan yang berarti selama digembleng sebulan penuh dalam ramadhan.

Kita memang tidak mungkin berhari raya seperti apa yang pernah dilakukan nabi bersama sahabatnya dulu. Namun, semua itu masih bisa kita tiru semampu kita demi memperoleh ampunan dari Allah. Kita di jaman yang serba lengkap seperti saat ini berhari raya dengan berbagai persiapan yang mewah dan menyenangkan, lain halnya dengan apa yang dialami oleh Rasulullah bersama sahabat dulu.

Sejenak kita melihat kembali ke belakang, kembali merenungi saat-saat dimana Rasulullah bersama sahabat pertama sekali merayakan idul fitri, seperti apakah kegembiraan mereka dan seperti apakah suasana jiwa mereka ketika itu?

Tiga belas tahun masa perjuangan di Mekkah, perintah puasa belum diturunkan begitu juga dengan hari rayanya belum pernah ada sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Dengan semakin gencarnya penganiaan yang dialami rasul dan para sahabatnya di tanah kelahiran mereka oleh kafir Jahiliyah, dan nabi sudah yakin bahwaMekah sangat tidak kondusif untuk dijadikan sebagai Daulah Islamiyah, yang akhirnya turun perintah supaya melakukan hijrah ke Madinah.

Keberangkatan Nabi dan para sahabat meninggalkan tanah tumpah darah, meninggalkan harta benda, tanaman bahkan keluarga yang dicintai semata-mata demi menyelamatkan iman kepada Allah.

Dua tahun keberadaan nabi di Madinah ternyata tidak mengurangi ancaman demi ancaman dari kafir Quraisy Mekah terhadap beliau dan para sahabat. Mereka sering menganiaya sahabat dan mengintimidasi dengan berbagai cara supaya orang-orang mukmin tidak akan bisa hidup tenang. Rasulullah yang senantiasa menanggapi perlakuan kaumnya dari dulu dengan kelembutan dan kesabaran, ternyata di Madinah ini dijawab Allah untuk segera melakukan perlawanan atau melakukan peperangan apabila diserang oleh musuh. Perintah untuk berperang pun diturunkan Allah pada tahun kedua hijriah ini.

Tidak lama berselang dari perintah untuk berperang ini turun, kembali Allah menguji hamba-Nya yang pada saat itu sedang mempersiapkan diri menghadapi peperangan melawan kafir Quraisy, dengan diturunkannya perintah melakukan puasa, tepatnya pada bulan kesembilan di tahun yang sama. Allah benar-benar akan mencoba hamba-Nya dengan ujian yang cukup berat, berperang di gurun pasir yang tandus dalam keadaan menahan lapar dan dahaga. Subhanallah

Kita tau bahwa para sahabat merupakan orang-orang pase awal yang beriman kepada Allah, yang mana masa keislaman mereka masih sangat dekat dengan masa kajahiliyahannya dimana di masa kejahiliyahan mereka tidak pernah kenal dengan menahan lapar dan dahaga sehari penuh. Otomatis perintah puasa ini merupakan hal yang sangat baru dalam kehidupan mereka. Di satu sisi ini sangat bertentangan dengan kebiasaan mereka sebelumnya, namun disisi lain ini harus tetap dijalankan karena perintah tuhan yang mereka yakini keberadaan-Nya. Sungguh ini merupakan pengalaman spiritual yang baru, pengalaman yang akan merubah ruhani dan jiwa mereka serta mengangkat mereka ke langit ketinggian menemui kehendak-kehendak Allah untuk selanjutnya turun lagi ke bumi menemukan betapa kerdilnya kita di hadapan Allah dan betapa tidak berartinya kenikmatan dunia berbanding dengan kenikmatan yang ada di sisi Allah.

Puasa ini mereka jalankan dengan penuh keikhlasan walaupun dalam suasana negeri Arab yang sangat panas cuacanya. Baru tujuh belas hari mereka melaksanakan ibadah puasa, ternyata Allah berkehendak mempertemukan orang kafir Quraisy dengan orang mukmin yang sedang melangsungkan puasa perdana mereka tersebut. Sungguh ini merupakan hal yang mungkin sangat sulit untuk dijalankan dalam keadaan perut kosong dan cuaca panas menyengat. Para sahabat merasa belum siap untuk menyambut tawaran ini, namun Allah menginginkan mereka untuk menerima tawaran ini. Lagi-lagi, ini merupakan ujian iman yang luar biasa. Tepat pada tujuh belas ramadhan bertepatan dengan hari jumat, pertempuran antara muslim yang sedang berpuasa dengan kafir musyrikin pun pecah di salah salah satu lembah yang disebut dengan Badar.

Berperang di bawah terik matahari yang menyengat dalam keadaan lapar dan dahaga dan dengan taruhan nyawa bukanlah perkara yang mudah dilakukan oleh sembarang orang, ini butuh keyakinan yang betul-betul teruji keasliaannya, tidak bisa dengan iman cilet-cilet yang hanya tidak sahur saja sudah tidak bisa melangsungkan puasa apalagi bila diperintahkan berperang melawan musuh-musuh. Namun nabi dan para sahabat dengan semangat keimanan yang kuat, akhirnya bisa memenangkan peperangan ini dengan sangat gemilang.

Pengalaman puasa perdana telah menimbulkan kesan spiritual bagi mereka, ditambah lagi dengan peperangan melawan musuh yang memberikan pengalaman yang lebih dahsyat dengan dapat menundukkan kafir yang jauh lebih banyak dan bertenaga dari pada mereka. Ini menambah keyakinan mereka terhadap janji Allah, dan mereka bisa membuktikan terkabulnya doa nabi sebelumnya bahwa beliau akan menghancurkan Abu Jahal, Umayyah dan dedengkot-dedengkotnya di medan Badar, dan semua itu telah dibuktikan Allah di alam nyata. Mereka kembali ke Madinah membawa bendera kemenangan dengan membawa tujuh puluh tahanan setelah sebelumnya membunuh tujuh puluh musyrikin lainnya serta empat belas orang dari kalangan muslim tercatat menjadi syuhada yang dimuliakan.

Pulang kembali ke Madinah dengan rasa senang atas kemenangan melawan musuh, juga dengan duka cita yang dalam atas kehilangan rekan-rekan seperjuangan di medan Badar yang menjadi syuhada. Semua dengan penuh keimanan kepada Allah menyelesaikan sisa ramadhan yang masih tersisa sekitar tiga belas hari lagi.

Dalam keadaan sedang menyempurnakan hisab ramadhan, lagi-lagi Allah mengirim perintah yang lain dalam waktu yang tidak terlalu jauh, Allah mewajibkan muslim untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai sarana untuk membersihkan mereka dari sifat kikir dan cinta berlebihan terhadap dunia, juga sebagai sarana untuk membersihkan hati serta menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam diri mereka.

Barulah setelah tiga rangkaian kewajiban di atas, puasa, perang dan zakat, mereka memasuki dan merayakan hari kemenangan di idul fitri setelah mereka berhasil melawan setan dalam diri mereka melalui puasa, berhasil melawan musuh melalui perang, lalu membersihkan kedua kemenangan itu dengan zakat fitrah, tibalah saatnya menuju kemenangan yang hakiki di hari fitri.

Bayangkan bagaimana perasaan rasul bersama sahabat dalam pelaksanaan hari raya pertama dalam Islam ini? Bagaimana gerak langkah kaki mereka menuju lapangan untuk melaksanakan salat I’d sembari mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil memuji dan menyanjung Ilahi Rabbi Allah Azza Wajalla. Bukankah saat itu mereka sedang berduka dengan kehilangan orang-orang terdekat yang menjadi syuhada Badar, bagaimana pula perasaan keluarga yang ditinggal syahid dalam merayakan kemenangan di hari fitri tersebut.

Semua pertanyaan di atas larut dalam haru biru kegembiraan hakiki yang mereka rasakan. Hari itu jiwa mereka tenggelam bersama kesyahduan iman, menyatu dengan hakikat kehendak Allah dan dengan fitrah mereka. Inilah suasana hari kemenangan pertama dalam sejarah Islam.

Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita masing-masing, adakah kegembiraan yang kita nikmati di hari kemenangan ini sama seperti yang dirasakan oleh Nabi dan para sahabatnya dulu? Apakah kenikmatan yang kita rasakan di pagi yang fitri ini akibat dari bertambahnya keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah dan seterusnya akan menjadi pola hidup kita ke depan sebagaimana semasa ramadhan yang rajin ke mesjid, iktikaf, tilawah quran, terjaga pandangan, selamat lidah dari menghasut, menghujat dan sebagainya akan terus bertahan selamanya atau justru sudah tutup buku di pagi yang fitri yang kita sebut dengan hari kemenangan ini?

Andai ini berakhir di pagi idul fitri, maka sungguh ironi keadaan kita. Bisa dipastikan kita tidak sedang menuju hari kemenangan tetapi sedang menuju ke hari yang penuh dengan kacau balau lagi seperti sebelum ramadhan. Dan semangat yang timbul selama ramadhan yang tidak bertahan setelahnya, bisa kita sebut dengan suum ek manok.

Kita bermunajat kepada Allah semoga apa yang kita peroleh di bulan ramadhan berupa akhlak yang baik, perkataan yang baik dan semua amal baik akan terus bisa dipertahankan selamanya. Kita sonsong hari kemenangan ini dengan penuh semangat demi menjemput ridha Allah SWT. Amin.

PRIMADONA ELIT POLITIK



Mungkin dalam waktu yang tidak berapa lama lagi, kita, khususnya Aceh kembali akan melaksanakan pesta demokrasi dalam rangka pemilihan kepala daerah, baik di tingkat satu maupun tingkat dua. Isu mengenai siapa-siapa yang akan mencalonkan diri menjadi pemimpin nantinya sudah mulai terdengar bahkan diperbincangkan, mulai dari perkotaan sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil sekalipun.

Berbicara pemilihan langsung, sudah pasti tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang masyarakat banyak yang merupakan faktor utama dalam hal pemenangan di saat pemilihan nantinya. Dan juga sudah bisa dipastikan pemilih terbanyak itu berasal dari kalangan masyarakat biasa, baik yang di perkotaan lebih-lebih lagi di pelosok-pelosok desa, baik yang mengerti politik maupun yang super awam tentang perpolitikan. Nota bene nya, masyarakat kita adalah yang memiliki jenjang pendidikan yang seala kadarnya, juga taraf kehidupan yang biasa-biasa saja dari satu tahun ke tahun selanjutnya.

Menarik perhatian kita, di saat-saat menjelang pesta demokrasi ini, rakyat-rakyat biasa ini menjadi individu-individu yang mempesona. Pembicaraan mereka disimak dan diperhitungkan para elit calon kandidat, walaupun normalnya tidak demikian adanya. Walaupun mereka tidak pernah mengerti politik, tapi menjelang pesta demokrasi ini banyak juga mereka yang berlagak bak politikus kelas kakap. Mereka bisa berbicara diatas standar rata-rata, mereka bicara perubahan seakan-akan perubahan itu semudah membalikkan telapak tangan. Dan ini bukan sejatinya kebanyakan masyarakat kita, tapi ini seakan-akan bagaikan refleksi dari sesuatu yang baru ditemui di satu dua orang.

Penting sekali memang masyarakat kita mengerti dan diajari politik, tapi yang disayangkan bila mereka dipolitisir untuk mendapat sesuatu yang bersifat pribadi, demi meraup keuntungan pribadi, sedangkan mereka tidak pernah terperhatikan dengan baik setelahnya, selalu saja mereka dimarginalkan dari satu pemilihan ke pemilihan selanjutnya. Padahal setiap kali pemilihan, pasti slogan memberantas kemiskinan selalu saja menjadi tema utama setiap elit yang maju. Namun akhirnya, lagi-lagi rakyat biasa menjadi korban bujuk rayunya elit politik. Paling mereka cuma berkata “ka meuramah loem tanyoe”.

Rakyat memang sangat mudah terpana dan terpesona dengan janji-janji manis, walaupun sejarah telah sangat kenyang dirasakan sebelumnya. Mereka juga sadar saat-saat seperti ini merupakan saatnya elit-elit politik yang ingin mencalonkan diri nantinya sedang gencar-gencarnya mencari dan berusaha dekat dengan mereka, namun apakah mereka untuk saat sekarang ini bisa memilih dan memilah siapa gerangan sosok yang semestinya dipilih untuk menjadi pemimpinnya nantinya?, itu yang sulit untuk terjawabkan.

Kandidat yang berencana untuk maju, sudah mulai melirik peluang untuk menembus ranjau-ranjau penghalang, minimal merintis jalan untuk bisa tempus ke sasaran. Semua bicara keadilan merata, kemakmuran rakyat, pemberantasan kemiskinan, mencetak lapangan kerja dan sebagainya. Bahasa-bahasa seperti ini memang memiliki nilai jual tinggi bagi masyarakat. Ibarat lagi musim durian, semua komentar duriannya yang paling bagus, isinya tebal, rasanya manis dan sebagainya. Namun apakah masyarakat bisa jeli untuk menentukan mana yang baik dan mana pula yang tidak baik, semua terserahkan kepada masyarakat itu sendiri, sejarah bukan hanya perlu diungkap tapi juga perlu untuk diingat. Jatuh ke lobang yang sama, maka berarti membunuh diri sendiri. Bila kita memilih durian karena sesuatu (luarnya saja) tapi buka karena sesuatu (isinya), maka bukan saja kita telah merugikan diri sendiri dan anak isteri, tapi juga menjadi sampah bagi masyarakat banyak.

Masyarakat biasa adalah target utama elit politik untuk memberikan dukungan dan suaranya kepada mereka saat pemilihan, karena memang masyarakat biasalah yang mendominasi peserta pemilihan disamping yang lainnya, mereka juga sering dijadikan audien setia dari pidato elit politik, begitu renyah para elit berkhutbah tentang kesejahteraan rakyat, pemberantasan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, sekan sudut kepedihan dan kemiskinan rakyat telah punah dari pandangan mata. Kepedihan rakyat yang bekerja banting tulang mencari nafkah setiap hari, bisa disulap seakan-akan menjadi kehidupan para elit juga, sehingga rakyat terbuai dan kembali tergoda dengan bujuk rayu para elit. Lidah mereka serasa begitu akrab dengan hidangan dari rakyat saat kedatangan mereka di satu pedesaan, walaupun cuma sambal terasi atau daun ubi yang merupakan makanan pavorit rakyat kecil dari satu pemilihan ke pemilihan yang lain yang belum bisa tergantikan sampai saat ini.

Inilah saatnya orang miskin menjadi idola, buah bibirnya para elit. Semua elit membelai mereka dengan kasih sayang dan janji-janji manis. Sejenak memang tidak sedikit masyarakat kecil yang bisa mengadu langsung kepada elit terhadap keluhan-keluhan yang dialami, sebab pintu rumah mereka senantiasa terbuka lebar untuk masyarakat luas, dan itu menjadi pengobat rasa ingin perubahan di hati rakyat sekalipun janji realisasinya di saat mereka terpilih menjadi pemimpin tidak ada jaminan sama sekali. Mendadak rakyat kecil menjadi tamu-tamu diskusi elit membahas dan membeber tema kemiskinan yang sebelumnya sangat susah untuk ditemui, merancang bersama strategi untuk memutuskan rantai kemiskinan. Lagi-lagi, rumah orang miskin di perkampungan menjadi tempat berteduhnya elit, tempat persinggahan sementara. Engkau primadona!

Keberpihakan kepada rakyat kecil ditunjukkan dengan melebur sampai ke akar-akarnya. Masyarakat terpana dan terpesona mendengarnya, seakan-akan wajah perubahan sudah sejengkal dengan mereka, rasa lelah menjadi buruh kasar sejak lama karena tidak diterima menjadi pekerja yang lebih layak karena faktor pendidikan yang rendah, seketika hilang dibuai pidato elit. Semua aspirasi masyarakat ditampung untuk dilaksanakan saat dalam kepemimpinannya nanti, janji membikin jalan, jembatan, peningkatan mutu pendidikan dan sebagainya semua seakan menjadi prioritas para elit, tapi berangkat dari pengalaman, rakyat hanya sebagai tempat persinggahan sementara. Dang-dang menang tadengo bandum, singoeh laen takira (Tampung semua buat sementara, nanti lain lagi ceritanya).

Jangan heran bila sering mendengar rakyat berkomentar, “dia mau jadi presiden, gubernur, bupati, saya tetaplah menjadi saya yang seperti ini, ngak ngaruh”. Sebagian menganggap ini kata-kata orang yang pendek cara berpikir (Paneuk antene). Tapi inilah yang mampu mereka utarakan sebab mereka tidak bisa berkomentar lebih baik seperti pemimpin-pemimpinnya. Dan ini merupakan kata-kata yang keluar dari alam bawah sadar mereka, karena seringnya impian perubahan yang dilontarkan, tidak pernah tersentuh sebagaimana perjanjian awal dengan mereka saat kampanye, janji dibuat jalan bahkan sampai akhir periode masa jabatan masih saja rakyat menempuh perjalanan sepuluh kilometer dengan waktu satu jam lebih kurangnya, bedanya dengan di Jakarta mereka menempuh dalam waktu satu jam karena faktor kemacetan, tapi rakyat dikampung karena jalanan mereka memiliki kolam-kolam renang kecil di badan jalan, sehingga kata-kata seperti ini keluar sendirinya tanpa mereka sadari. Kita tidak bisa bersembunyi dari ini, bila tetap dipaksakan untuk dibantah, maka ibaratnya kita sedang bersembunyi dibalik jala (meusom lam jeu).

Rakyat tidak butuh janji muluk, yang dibutuhkan perubahan dan implementasi nyata. Buat apa janji semanis madu, tapi tidak pernah tersampaikan, lebih baik janjikan kepada mereka yang biasa-biasa saja yang mudah untuk dilaksanakan, rakyat pun tidak terlalu menaruh harapan besar terhadap hal yang sangat sulit untuk dilaksanakan. Berikan kami (masyarakat) harapan yang mampu untuk dilaksanakan, jangan janjikan kami gunung emas tapi imitasipun tidak pernah kami dapatkan. Sampaikan keinginan yang datang dari hati yang tulus untuk masyarakat, jangan menghujat dan memojokkan pihak lain yang juga maju sebagai kandidat, dan biarkan masyarakat memilih dengan hati nuraninya, jangan beli kami dengan peng grik, biarkan kami memilih pemimpin kami tanpa ada embel-embel apapun selain keteladannya.

Kami ucapkan selamat berdemokrasi yang sehat, semoga akan mendatangkan perubahan nyata di masyarkat banyak. Harapan kami (masyarakat) sekali lagi, kami yang akan mengantarkan anda ke kursi empuk dan istana pendopo, namun jangan sampai mengabaikan kami dengan segudang rindu akan perubahan. Jangan sampai nantinya engkau berlalu di akhir masa jabatan dengan segudang uang kami dan kemewahan duniawi yang mempesona. Jangan sampai kami kembali bernyanyi “Engkau yang berjanji, engkau pula yang ingkari”

Penulis : Mahasiswa asal Aceh, kuliah di Jakarta.

TRAGEDI KEMUNAFIKAN



Munafi’, kata yang singkat namun bisa menyebabkan petaka besar bila diucapkan kepada sembarang orang. Artinya, kata munafik ini tidak bisa dilontarkan sembarangan walaupun orang yang ditujukan memiliki kriteria sebagai penyandang predikat munafik, jangan coba-coba kata-kata ini dialamatkan ke seseorang, akan terjadi perang besar. Habeh tanyoe dihamboe lam-lam seupoet!!!

Al-Qur’an telah memberikan gambaran bahkan ciri-ciri orang yang disebut munafik, diantaranya Allah berfirman “mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya [QS 9: 57].

Orang-orang tua kita juga sering menyebut bahwa munafik itu adalah orang yang tidak sesuai perkataan dengan perbuatannya, berlagak kiyai tapi berhati syaitan, manusia bermuka manis tapi berhati busuk, juga manusia yang menjadi penghambat terselubung dalam membuat perubahan seperti halnya Abdullah bin Ubay bin Salul di masa permulaan Islam. Kalau dalam bahasa Aceh disebut dengan manusia yang dikeu be bue, di likoet be ek.

Ada apa sebenarnya dengan kata munafi’ ini sehingga hampir semua orang tidak suka dibilang sebagai munafik?, walaupun ada juga sebahagian orang yang justru mengakui dirinya sebagai munafik, padahal orang yang mengakui dirinya munafi’ yang penulis maksud sangatlah tidak wajar sebutan itu ada pada pribadinya. Dia adalah sahabat Rasulullah saw, Handhalah r.a.

Hanzalah ra, pada saat berada di majlis Rasulullah, seakan-akan dia merasakan tidak ada yang lebih penting selain dari apa yang disampaikan rasul tentang agama, namun begitu dia kembali kepada anak-istri, maka semua menjadi berubah tidak seperti saat di majlis rasul. Maka Hanzhalah menganggap kalau dirinya telah menjadi munafi’ karena ketidak konsistennya dia saat di depan dan di belakang rasulullah. Hanzhalah keluar rumah, lalu berteriak di depan orang; Hanzhalah munafi’ Hanzhalah munafi’.

Kita semua setuju, bahwa julukan munafik ini sangat tidak tepat atau salah alamat bila ditujukan kepada Hanzhalah.ra? Tapi di sini, kita tidak sedang mengatakan Handhalah r.a munafi’, akan tetapi dia sendiri yang mengatakan kalau dirinya seorang munafik karena kekwatiran beliau dengan keadaan beliau yang tidak konsisten dengan apa yang diucapkan Rasulullah kepadanya di saat di depan dan di belakang Rasulullah.

Hanzhalah merupakan sahabat nabi yang utama, orang yang syahid di medan Uhud dalam membela Islam, berperang dalam keadaan dirinya masih berhadats besar (junub) karena tidak sempat mandi hadats sebelum berangkat ke medan Uhud. Karena dalam keadaan berhadats besar, maka setelah syahid sebagai syuhada Islam di Uhud, maka jasad Hanzhalah harus dimandikan walaupun pada dasarnya seorang syahid tidak boleh dimandikan. Namun saat Rasulullah hendak memandikan jasadnya, ternyata para malaikan telah lebih dulu memandikannya, yang tersisa hanya tetesan air bekas pemandian. Subhanallah!

Hanzhalah juga merupakan salah satu di antara sahabat Rasulullah yang mendapatkan title radhiallahuanhu (r.a) dari Allah SWT atas jasa dan pengabdiaannya kepada agama ini. Dan kita yang hidup di penghujung dunia yang mungkin sebagian kita penuh nama kita dengan title-title akademik yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi yang memilikinya. Lantas, apa yang membedakan kita dengan Handhalah.r.a.

Hanzhalah telah menyebut dirinya sendiri sebagai munafik hanya disebabkan sedikit masalah yang dia ragukan tentang keadaan dirinya yang berbeda saat di depan dan di belakang rasul. Sedangkan kita dengan segudang bahkan mungkin telah mendunia kesalahan-kesalahan kita belum pernah menyadari ada sifat nifak ini pada pribadi kita, kita juga sangat tidak bisa terima andai seseorang mengatakan kita sebagai munafik apalagi mengakui diri sebagai munafik yang sesungguhnya. Sangat jarang!

Manusia munafik ini bisa dari berbagai golongan dan tingkatan; bisa saja dari kalangan atas sampai kalangan bawah. Merasa pencetus perubahan padahal begitu banyak amanah yang telah digelapkan demi kepentingan pribadi, merasa sebagai pendidik yang ideal padahal begitu banyak hal yang disampaikan kepada peserta didik hanya karangan belaka tanpa dasar ilmu pengetahuan, merasa sebagai pemimpin yang pro rakyat padahal begitu banyak amanah rakyat yang telah dilupakan dengan berbagai alasan.

Sebagai pendidik/ guru misalnya, ini merupakan amanah umat yang dititipkan kepada kita yaitu anak-anak bangsa untuk dididik supaya berilmu, beriman dan berakhlak sebab mereka merupakan ujung tombak bangsa di masa mendatang, harapan semua insan akan menjadi penggerak kemajuan yang lebih signifikan di era mendatang, jangan hancurkan masa depan mereka dengan kemunafikan kita mendustakan sumpah jabatan kita saat dilantik, masuk sekolah untuk mengajar suka-suka hati kita, sehari masuk tiga hari libur, apalagi kalau kita diamanahkan posisi kepala sekolah.

Begitu juga yang diamanahkan menjadi pemimpin, usahakan untuk mewujudkan hajat masyarakat minimal apa yang pernah kita janjikan kepada mereka di masa awal, dan bila kita tidak mampu melaksanakan itu karena faktor yang bermacam-macam dan itu bukan kemauan kita untuk tidak terlaksananya hal tersebut, maka alangkah bijaknya bila kembali kita sampaikan kepada masyarakat dengan terbuka lewat jalan musyawarah, karena umat juga tau kita manusia yang memiliki keterbatasan di sana sini, sebab bila kita diamkan tanpa penjelasan terhadap polemik yang terjadi, maka akan menimbulkan prasangka-prasangka negative, akhirnya saling hujat, saling serang yang akibatnya tidak berjalannya program yang direncanakan. Memang menjadi pemimpin itu tidak mudah, jangankan salah, yang benar saja bisa jadi salah. Demikian kurang lebih kata-kata yang pernah disampaikan presiden kita Susilo Bambang Yudhoyono.

Yang menjadi mahasiswa, kita juga punya amanah besar dalam mengawal masa depan bangsa, kita yang akan menyambung peran orang-orang tua kita saat ini, amanah ini dijaga dengan sungguh-sungguh terutama sekali dengan mengikuti pendidikan dengan sebaik-baiknya, dan juga mengkritik yang salah dengan tujuan yang baik, tidak cuma pandai mengkritik, tapi tidak pandai dalam memberikan solusi. Tidak menghujat orang lain karena sesuatu yang tidak pasti nilai kebenarannya. Kita jadi pendukung setiap langkah yang ditempuh ulama atau umara dalam membuat kebijakan yang meutuah, bukan menjadi penghambat perubahan dengan berbagai aksi yang kita lakukan.

Juga, membiarkan atau mendukung terjadinya kemaksiatan di sekeliling kita yang sudah menjadi kebiasaan manusia modern saat ini dengan menonjolkan argument-argumen yang bermacam-macam tergantung kasus yang sedang terjadi. Bila dalam masalah penegakan syariat Islam di Aceh, kita sering mendengar alasan yang ditonjolkan dengan kebebasan berekspresi, modernisasi, hak azasi dan lain-lain. Anti terhadap hal-hal yang makruf begitu banyak yang menyuarakan dan memberikan dukungan dengan berbagai cara, mulai dari yang ngomong di kaki lima, media massa, internet, radio bahkan sampai dengan melakukan aksi-aksi di lapangan. Dan bahkan ada yang tanpa sedikitpun merasa bersalah kita mencaci, mencemooh sampai menfitnah orang-orang yang mencoba merintis jalan menuju perbaikan ummat. Astagfirullah al-‘Adhim.

Berani dan siapkah kita bila disebut munafik atau justru punya nyali untuk menyebut diri kita munafik seperti Hanzhalah?

Sifat ini sangat berbahaya, dan sifat ini disamping merusak tatanan kehidupan orang banyak juga merusak kepribadian kita sendiri sebagai pelakunya. Kita akan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri yang akhirnya akan kehilangan kepercayaan dari orang banyak, dan kalaupun kita mendapatkan kesenangan dengan cara mendustakan kebenaran, baik berupa materi, jabatan, ucapan terima kasih yang berlebihan dari orang yang kita bantu dengan jalan nepotisme, pujian dari banyak orang tentang kekritisan kita mengkritik, maka akhirnya juga akan mengantarkan kita kepada kebinasaan baik kebinasan di dunia lebih-lebih lagi kebinasan di akhirat. Nauzubillah!

Semoga kita semua diselamatkan dari sifat nifak ini. Dan kita usahakan untuk tidak mencoba menjadi manusia-manusia munafik sampai kapanpun, demi menyonsong hari esok yang lebih mulia dan bermartabat di mata dunia dan di mata Allah sebagai Sang Pencipta yang senantiasa memantau keadaan kita setiap saatnya. Amin.

PENDIDIK IDEAL



Pendidikan merupakan hal yang paling substansial dalam kehidupan umat manusia, untuk menggapai kesuksesan hidup dunia dan akhirat. Semua agama dan bangsa di dunia memprioritaskan pendidikan demi menatap masa depan yang baik dan mulia. Begitu juga kiranya dengan kita (Aceh) bagaimana dengan segenap kemampuan kita curahkan demi mewujudkan pendidikan yang berkwalitas. Kalau dalam perundingan RI-GAM dulu kita telah dimediator oleh Negara Finlandia, tidak salahnya juga bila kiranya dalam bidang pendidikan kita mengikuti jejak mereka yang telah berhasil memecahkan rekor dunia sebagai negara yang paling bagus mutu pendidikannya, dan perlu kita ketahui keberhasilan mereka bukan disebabkan faktor sarana yang canggih dan mewah, tapi karena faktor guru yang memiliki kapasitas memadai sebagai seorang guru.

Aceh, yang ternyata menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang muslim lain yang ada di Indonesia, akan sangat tergantung masa depannya di tangan generasi muda Aceh saat ini. Mereka-merekalah yang akan menyambung tongkat estafet Aceh di kemudian hari. Mau dibawa kemana Aceh nantinya, ke arah yang lebih maju dan lebih baik dari sekarang atau justru sebaliknya, semua sangat tergantung kepada pendidikan yang kita berikan kepada mereka saat ini. Bisa dipastikan, untuk menyonsong Aceh yang lebih baik dari hari ini tidak lain adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan Aceh sejak dini, membekali mereka dengan berbagai basic ilmu pengetahuan modern dan yang tidak kalah pentingnya membina mereka menjadi manusia yang berwawasan luas dengan ditopang akhlakul karimah yang tinggi. Intinya, mereka lebih hal berpengetahuan juga memiliki akhlak yang lebih pula.

Menyimak tulisan saudara Anas M. Adam, Mengurus Pendidikan Aceh, edisi Sabtu, 16 Oktober 2010 dimana orientasi perhatian kita saat ini tertuju kepada pembangunan fisik bukan atau sedikit sekali kepada penguatan kapasitas guru sebagai ujung tombaknya keberhasilan sebuah lembaga pendidikan, penulis sangat setuju dan di sini penulis juga ingin menambahkan beberapa hal yang semestinya mendapatkan perhatian khusus dari kita semua terutama sekali pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam menangani masalah pendidikan Aceh. Penulis mendengar paparan dosen penulis baru-baru ini “bagaimana pendidikan kita bisa menyaingi pendidikan luar negeri, sedangkan guru-guru kita sejak menjadi guru bahkan sudah empat belas tahun, belum pernah sekalipun mendapat pembekalan, apa yang ada semenjak menjadi guru, itulah yang dimilikinya sampai kini walaupun bumi telah jauh berputar”.

Keberhasilan sebuah pendidikan sangatlah tergantung kepada beberapa faktor, salah satu diantaranya yang paling urgen adalah guru. Guru, merupakan ujung tombaknya pendidikan, yang paling bertanggung jawab dalam mencapai tujuan akhir sebuah pendidikan. Menjadi seorang guru merupakan suatu hal yang sangat mulia, sebab menjadi seorang guru berarti menjadi pemikul amanah yang cukup besar yang harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat. Mengolah manusia untuk menjadi manusia bukanlah perkara gampang seperti yang dikira kebanyakan kita selama ini, giliran jadwal mengajar kita mengajar terus selanjutnya selesai dan di akhir bulannya ambil upah. Tidaklah segampang itu, tapi apa yang dihasilkan dari produksi kita selama ini, sudah sukseskah kita menjadikan manusia ke manusia seutuhnya? Ini yang harus kita pertanyakan. Salah seorang pemerhati pendidikan di Indonesia berkata: “Di tangan seorang guru yang cekatan, fasilitas dan sarana yang kurang memadai dapat diatasi, namun sebaliknya di tangan guru yang kurang cakap, sarana dan fasilitas yang canggih pun tidak banyak memberi manfaat”.

Islam menberikan apresiasi yang tinggi kepada guru dengan gelaran alim atau ulama yang dijanjikan pahala besar di akhirat nanti. Sebab yang menjadi guru sudah tentu yang memiliki kapasitas lebih dalam bidang ilmu pengetahuan dan akhlak, dan dalam istilah Islam disebut dengan alim. Orang alim merupakan orang yang menerima penghargaan besar dan tanggung jawab besar dari Islam, yaitu menjadi pewarisnya para nabi dalam menyampaikan kebenaran kepada umat, mendidik dan mengajak mereka untuk berilmu, berakhlak, berjalan sebagaimana tuntunan dalam tatanan Tuhan Sang Pencipta. Di sini penulis ingin membahas sedikit mengenai kualifikasi seorang guru yang ideal.

Guru yang ideal memiliki empat kriteria khusus, yaitu: pertama persyaratan administratif, di sini melingkupi akhlak yang baik, memiliki usia yang cukup untuk menjadi seorang guru, bahkan disyaratkan memiliki kewarganegaraan yang sah serta mengajukan permohonan sesuai dengan prosedur. Berakhlak mulia sangat menentukan untuk melahirkan generasi yang berakhlak pula. Sangat tidak mungkin seseorang yang diajarkan untuk berakhlak mulia namun yang memberikan pelajaran justru pelanggar aturan-atuaran yang ada. Seorang guru yang tidak taat kepada Allah tidak mungkin bisa menjadi guru untuk menjadikan anak didiknya menjadi manusia yang muttaqin. Jangan heran bila sekarang kita menyaksikan banyak generasi muda kita yang berakhlak tidak sesuai dengan aturan, ini salah satu faktornya adalah orang yang semestinya menjadi idola dan teladannya tidak bisa menjadi sosok yang diteladani. Kejadian beberapa hari yang lalu, Cek Gu “MIN” dilas di rumoh kosong, Serambi, Edisi Kamis, 21 Oktober 2010, telah mencoreng nama baik guru yang semestinya menjadi idola setiap orang. Coba kita bayangkan, apa yang akan terjadi bila pendidik kita seperti ini? Lebih menyakitkan lagi ini guru sekolah dasar agama, mungkinkah guru seperti ini bisa mendidik muridnya menjadi manusia yang berkarakter mulia, berdalih mengantarkan siswanya untuk ikut personi, malah dia mengambil kesempatan untuk bermaksiat? Kita tidak mengatakan semua guru kita seperti ini, tapi diakui atau tidak beginilah sebagian guru-guru muda kita menjadi obyek pembicaraan negatif di kalangan masyarakat karena kelakuannya yang tidak mulia.

Kedua, persyaratan teknis. Teknis, yaitu hendaknya seorang guru itu memiliki background pendidikan yang memadai dibidangnya masing-masing, teknis mendidik yang mapan dan ini dibuktikan dengan memiliki ijazah pendidikan. Ijazah juga bukan hanya barometer untuk sahnya seseorang menjadi seorang guru yang ideal, namun semua itu harus bisa dibuktikan di lapangan, memberikan kepuasan batin bagi peserta didiknya dalam menjawab semua permasalahan, tidak mengada-ngada dalam penyampaian materi sehingga kesannya asal sudah masuk kelas berarti sudah selesai tanggung jawabnya sebagai guru. Banyak guru yang asal ngomong tapi tidak memiliki referensi yang bisa dipertanggung jawabkan tentang keabsahan apa yang diucapkan, akhirnya orang mengatakan usia ilmu yang dimiliki tidak lebih dari satu hari. Begitu juga halnya dengan teknis mengajar sangat menentukan bagi peserta didik untuk sampainya apa yang dipaparkan guru kepada mereka. Bila kiranya peserta didik tidak mengerti apa yang disampaikan guru, belum tentu itu semua faktor kurang keintelektualannya tapi bisa jadi teknis pembelajaran yang ditampilkan seorang guru tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Disinilah sangat dibutuhkan seorang guru yang menguasai teknis pembelajaran aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan (PAIKEM). Disamping itu juga, seorang guru harus memelihara kemuliaan ilmu dengan mengamalkan ilmunya. Seorang guru yang ideal itu lebih banyak memberikan teladan daripada memberikan wejangan, sebab memang tugas seorang guru itu bukan hanya memberikan ceramah tapi menampakkan isi ceramah dalam kehidupannya.

Ketiga, persyaratan psikis. Yaitu, seorang guru memiliki rohani yang mulia, bertaqwa, sabar, ramah, sopan, bertanggung jawab dan mematuhi norma dan nilai yang berlaku dan yang lebih penting bisa berpikir dewasa. Intinya, seorang guru tersebut harus menjadi seorang ayah/ ibu bagi anak-anak didiknya, kasih sayang diberikan merata tanpa pilih kasih, menyampaikan dan menampakkan hal-hal yang baik supaya anaknya menjadi baik dan mulia, mengajak mereka untuk berbuat baik, menghukum bila mereka bersalah dengan tujuan mendidik bukan karena dendam, mencontohi yang baik-baik dan sebagainya. Guru yang gagal adalah guru yang arogan, otoriter, sombong, angkuh terhadap murid-muridnya, sehingga sering kita mendengar keluhan dari peserta didik saat ini, baik di tingkat SD, SMP, SMU bahkan di perguruan tinggi terhadap kelakuan gurunya yang tidak disenangi, bahkan ada guru yang menjadi momok menakutkan bagi muridnya. Cara bicaranya yang tidak menampakkan akhlak yang baik, merasa diri paling benar sehingga menyalahkan murid dengan semudahnya, mendapat kesulitan saat ada sesuatu yang ingin dimusyawarahkan, mempersulit sesuatu yang sebenarnya sangat mudah, bertele-tele dan berbelit-belit dalam berbagai permasalahan. Yang lebih menyedihkan sampai ada yang mendemo supaya di non-aktifkan guru yang demikian. Bila begini kejadiannya, lalu dimana juga wibawa seorang guru di mata muridnya?

Keempat, persyaratan fisik. Persyaratan fisik ini mengarah kepada sehat jasmani, juga kerapian, kebersihan dan lain-lain. Mungkin ini tidak terlalu menjadi perhatian kita, tapi sebenarnya ini sangat menentukan bagi peserta didik melihat penampilan gurunya yang gagah, rapi dan bersih. Rapi di sini bukan juga dalam arti harus berdasi, bersepatu mewah dan sebagainya, tetapi menampilkan kesederhanaan yang bersahaja, tidak menyolok pandangan dan sesuai dengan profesi sebagai seorang guru. Kesehatan jasmani juga merupakan hal yang harus diutamakan, jangan sampai pendidikan anak-anak didik terbengkalai karena kurang fit guru dalam masalah kesehatan.

Bila kita memiliki guru yang memenuhi kualifikasi yang matang, maka tujuan pendidikan kita menciptakan generasi yang mapan akan segera terwujud. Memang gedung-gedung yang bagus, ber-AC sangat kita butuhkan demi kenyamanan lajunya proses pembelajaran, tapi itu semua tidak akan meningkatkan mutu lulusan kita bila tenaga pengajarnya tidak kita tingkatkan kwalitasnya. Kita bangga telah memiliki banyak gedung mewah di dunia pendidikan kita, tapi rasa malu terhadap banyaknya lulusan kita yang bobrok juga tidak tertutupi dengan gedung-gedung mewah yang kita miliki. Kita senang dan bahagia serta berterima kasih karena anak Aceh saat ini telah bisa belajar di gedung yang indah dan megah tapi alangkah senangnya lagi bila semua itu dipadukan dengan memiliki tenaga pengajar yang handal dan cakap. Kita boleh tidak memiliki sekolah berstandar internasional seperti di kota-kota besar, tapi kita harus memiliki guru yang berstandar internasional walaupun gedungnya di ujung-ujung negeri tak terjangkau media. Boleh kita tidak memiliki guru khusus bahasa Inggris misalnya, asal ada guru lain yang mampu berbahasa Inggris, dari pada punya guru khusus bahasa Inggris, tapi jangankan mendidik orang lain untuk bisa berbahasa Inggris, dia sendiri tidak mampu. Han glah meu keudroe, kiban tabrie keu gob.

Tenaga pengajar yang mapan dan juga mencukupi sebagaimana standarnya sebuah sekolah sangat dibutuhkan di setiap rumah sekolah tidak terkecuali rumah sekolah yang keadaan fisiknya telah reot di makan usia. Lagi pula, menurut penulis masalah fisik bangunan yang masih layak huni walaupun tidak termasuk kategori mewah itu tidak terlalu menjadi permasalahan yang berarti, asalkan proses belajar mengajar tetap bisa berjalan secara baik dan menghasilkan out put yang sebagaimana diharapkan. Buat apa juga punya sarana yang modern bila tidak bisa menghasilkan out put yang baik.

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin memberikan contoh sebagai sampel, Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat memiliki lembaga pendidikan mulai dari SD,MI,SLTP, MTs, MAN dan SMU sebanyak 20 unit di berbagai desa di kecamatan tersebut. Sebagai contoh, Sekolah Dasar Negeri (SDN) Seuneubok Teungoh, dimana saat ini hanya memiliki guru negeri 4 orang, selebihnya adalah tenaga honorer. Coba kita bayangkan bagaimana repotnya mengurus anak-anak satu sekolahan dengan tenaga yang cuma empat orang itu, dan itu sudah termasuk kepala sekolahnya? Mungkinkah keadaan seperti ini akan mendapatkan hasil yang maksimal? Bagaimana ini bisa kita biarkan begitu saja tanpa mendapatkan perhatian baik dari kita. Wajar rasanya, bila anak-anak di perkotaan lebih berwawasan dan lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak yang sekolah di pedesaan, karena anak kota di samping memiliki sarana pendukung lainnya untuk belajar juga memiliki guru yang cukup, sedangkan di pedesaan mendengar alat-alat canggih saja tidak pernah apalagi melihatnya, ditambah lagi dengan kurangnya tenaga pengajar. Mendengar microscope misalnya mereka bertanya “pu melatangnyan?”

Memang tidak mungkin menjadikan sekolah di pedesaan sama seperti sekolah yang ada di perkotaan yang memiliki banyak guru bahkan mungkin melebihi, tapi setidaknya minimal sekolah-sekolah yang di pedesaan mencukupi sebanyak kelas yang ada saja sudah sangat baik.

Mengenai dengan sarana, bila kita mengamati banyak juga sarana yang disediakan untuk kelancaran operasional sekolah yang dibangun seperti rumah tempat tinggal guru. Tapi, lagi-lagi penulis mengambil contoh di Kecamatan Arongan Lambalek yang pernah penulis amati banyak rumah dinas guru yang keberadaannya sangat mubazir karena tidak ada yang menempati. Kalau memang dibuat untuk tidak ditempati, buat apa juga dibuat, bukankah lebih baik dana tersebut kita alokasikan saja untuk hal lain yang lebih dibutuhkan. Dua rumah dinas yang ada di SDN Rimba Langgeh Kecamatan Arongan Lambalek yang masih sangat baru, merupakan contoh yang tidak digunakan oleh yang berhak menempati. Padahal keberadaan guru di lokasi sekolah sangat banyak mendatangkan manfaat, baik bagi sekolah itu sendiri maupun bagi masyarakat sekitar.

Dengan mendapat perhatian lebih dari semua elemen masyarakat terhadap pendidikan generasi muda kita, terutama pihak yang berwenang sampai masyarakat biasa, semua kita ikut andil memantau lajunya proses pendidikan anak-anak bangsa, maka mudah-mudahan pendidikan generasi muda Aceh akan cepat tertangani menuju era cemerlang di masa depan dalam tatanan Ilahi. Amin.

Penulis adalah: Mahasiswa asal Aceh, kuliah di Jakarta.