MESJID TANYOE



Oleh: Ustazi Syarsal
Aceh, adalah kiblatnya Islam bagi propinsi lain di Indonesia, kalau Aceh sudah tidak bagus lagi keagamaannya maka propinsi lain mungkin tidak bisa diharapkan. Begitulah kurang lebih seseorang yang tinggal di ibukota menyampaikan kepada penulis saat bincang-bincang tentang Aceh.
Di satu sisi penulis merasa sangat bangga terlahir sebagai Aneuk Nanggroe Aceh, daerah yang begitu dikenal di Nusantara ini dengan gelarannya yang sangat religius, Bumi Serambi Mekkah. Tapi di sisi lain rasa malu begitu besar terasa, rasanya tidaklah layak apa yang disampaikan orang yang belum tau persis tentang fenomena keagagamaan di Aceh yang sesungguhnya.
Membaca laporan Nurfahmi Budiarto, Wartawan Serambi Indonesia edisi minggu, 4 Juli 2010 tentang Mesjid Membuat Hati Jadi Tenang, penulis jadi teringat daerah tercinta yang cukup dikenal banyak mesjid. Kalau kita melewati jalan selepas Aceh menuju Medan, maka akan sangat sulit mendapat mesjid untuk menunaikan shalat tepat waktu, harus bersabar sampai tiba di tempat yang ada mesjidnya. Namun kalau orang ingin berkeliling Aceh, masalah ini sama sekali tidak perlu dikhawatirkan, karena hampir setiap satu kampung ada mesjidnya. Luar Biasa. Yang menjadi pertanyaanya apakah mesjid-mesjid yang ratusan ribu jumlahnya di daerah seluas 57.365,57 km persegi dengan penduduk 5.000.000 jiwa lebih dan dengan mayoritas muslim 98,87 persen ini masih berpenghuni atau tidak (ada kehidupan mesjid atau mesjid dibuat hanya sekadar buat shalat jumat dan hari raya)? Apa ada tempat untuk berwudhuk bila tamu singgah, apakah lantai mesjid terjamin tidak terkotori dengan kotoran-kotoran binatang, ek wala ka ek duem?
Sejauh yang penulis pernah singgah di desa-desa yang ada mesjidnya, maka sungguh teramat sangat memprihatinkan (bahasa ureung dayah) melihat keadaan kehidupan mesjid. Berbagai suasana yang bisa terlihat; ada yang tidak memiliki tempat wudhu sama sekali, ada yang punya sumur tapi tidak ada timba, ada wc namun tidak bersih, ada yang tidak tau hendak melangkah kemana menuju shaf depan karena dimana-mana kotoran binatang.
Ini adalah bukti tidak makmurnya mesjid pada kebanyakan di Tanoeh Rencoeng Tjang Meutuahnyoe. Di daerah penulis sendiri yang memiliki mesjid kurang lebih 27 mesjid dalam satu kecamatan, namun satu pun mesjid tidak hidup jamaah 5 waktu. Astagfirullah. Bahkan di mesjid kecamatan sekalipun sangat susah mendapati jamaah satu shaf penuh saja dan itu pada waktu shalat magrib dimana mungkin kalau diperkotaan agak sedikit melegakan pemandangannya. Bahkan di kampung tempat penulis dibesarkan pernah menanyakan kepada tetua kampung: Meuah ayahwa, loen tanyoeng, pue keuh seu umue jeut gampoeng tanyoe nyoe sampoe uroenyoe (tahun 2008) kaleh pernah teudoeng jamaah limoeng boeh watee lam gampoeng tanyoe bahpih coema si uroe mantoeng?(maaf pak, saya mau bertanya, apakah selama jadinya kampung kita sampai hari ini (tahun 2008) sudah pernah berdirinya jamaah shalat lima waktu di kampung walau cuma satu hari? Dan dengan sangat polos beliau memberikan jawaban : Hana neuk (tidak nak).
Penulis tidak mengatakan fenomena di daerah penulis bisa terwakili seluruh gampoeng yang ada di Aceh, karena juga ada mesjid-medjid di tempat lain yang makmur walaupun persentasenya belum imbang dengan jumlah mesjid yang ada, namun setidaknya ini menjadi perhatian kita untuk meninjau langsung ke lapangan, terutama oleh pihak-pihak yang ingin Islam ini berjaya, tidak sekadar menyandang nama yang elok-elok namun sangat jauh dari tuntunan agama yang sesungguhnya. Terlalu jauh berbangga dengan sebutan tanoeh aulia, bumoe syariat dan sebagainya justru akan menjadi bumerang bagi kita di mata orang luar.
Melihat makin maraknya pembangunan mesjid-mesjid di daerah, menurut penulis ini sama sekali bukanlah kemajuan, tapi justru kemerosotan umat yang sangat fatal, sebab buat apa mesjid terus dibangun sedangkan kemakmuran mesjid tidak ada yang memperhatikan, justru menambah banyak dosa bagi semua pihak dan kurang efektifnya sumbangan yang diberikan untuk pembangunan mesjid, mungkin lebih baik dana itu digunakan untuk kemakmuran mesjid seperti memberikan honor bagi muazzin yang siap melaksanakan tugasnya setiap waktu sekaligus juga bisa tampil sebagai imam bila imam tetap tidak hadir, atau disumbangkan kepada orang miskin yang lebih membutuhkan atau juga bisa untuk mendidik generasi dalam bidang khusus agama, mungkin jauh lebih bermanfaat dari pada menyumbang untuk mesjid yang hanya digunaka dua kali dalam seminggu, yaitu shalat magrib dan shalat jumat, dan untuk dua shalat hari raya.
Paling tidak kalau ada orang yang mengajukan permohonan dana kepada semua instansi untuk pembangunan mesjid, maka pihak yang dimaksud melakukan obsevasi secara teliti dulu ke kampung, meliput informasi dari masyarakat apakah mesjid yang hendak dibangun untuk shalat jumat atau untuk shalat lima waktu, kalau hanya untuk shalat jumat, maka dipersilahkan untuk jumat ke kampung yang sudah ada mesjid. Atau bila jawabannya untuk shalat hari raya, maka persilahkan untuk mencari lapangan, karena shalat hari raya juga tidak disyariatkan untuk dilakukan di mesjid, yang disuruh pelaksanaannya di lapangan biar semua orang bisa hadir tanpa kecuali wanita yang sedang memiliki keuzuran yang tidak membolehkan masuk mesjid.
Sungguh ini pemandangan yang sangat mengherankan karena status kita yang mayoritas Islam dan begitu banyaknya ahli-ahli agama, namun tidak merubah pola pikir masyarakat untuk mencintai mesjid. Kalau kita bandingkan dengan daerah-daerah lain yang tidak menyandang nama besar seperti kita mungkin lebih baik dari kita dalam masalah ini. Jawa misalnya, kita bisa buktikan sendiri, ada suara azan setiap waktu shalat, sekalipun jamaahnya tidak terlalu banyak, tapi masih lebih mendingan ketimbang tidak terdengar azan sama sekali, Jakarta yang serba kacau balau bila kita lihat dari luar namun tidak pernah kita dapati mesjid/ mushalla yang terlewatkan dari shalat jamaah lima waktu.
Apa yang disebutkan oleh Nurfahmi Budiarto tentang berdirinya mesjid di kawasan Eersterust Afrika Selatan dimana kawasan ini merupakan area kedua paling berbahaya setelah Mamelodi, merupakan perbandingan yang sangat jauh dengan keadaan kita yang mampu membangun mesjid dengan begitu mudah tapi tidak mampu memakmurkannya. Pernah juga penulis saksikan di satu mesjid di Madras, Tamil Nadu, suatu propinsi bagian paling ujung Delhi berbatasan dengan laut Srilanka dengan penduduk mayoritas Hindu, dimana orang Islam tidak diperbolehkan mengumandangkan azan dengan pengeras suara, tapi masya Allah lima belas menit sebelum azan dikumandangkan, penduduk muslim sudah tiba di mesjid menyonsong kemenangan dalam shalat jamaah fardhu sebagaimana banyak hadits telah mengutarakan hal ini.
Kita berharap Aceh kita ke depan bisa lebih bermartabat dari nama yang kita sandang saat ini. Madinah al-Munawarah mendapat gelar munawarah bukan tidak ada landasannya, tapi di saat syiar Islam telah begitu menggema di kawasan tersebut, di saat persaudaraan terbina begitu eratnya melalui manajemen persatuan ala mesjid yang dibuat Rasulullah SAW.
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (at-Taubah: 18)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar yang baik insya Allah tidak akan membuat kebanggan dan begitu juga mudah-mudahan komentar yang memojok dijadikan bahan intropeksi...