Reaktualisasi Maulid Nabi

Peringatan maulid nabi terus dilaksanakan di berbagai wilayah di Aceh, dimulai sejak tanggal 12 Rabiul Awal, dan baru akan berakhir pada bulan Jumadil Akhir nantinya. Sangat lama dan sangat variatif di setiap belahan wilayah Aceh. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa memiliki cara tersendiri memperingatinya, dan mulai dari yang memiliki niat mulia dalam peringatan tersebut sampai kepada yang hanya datang, duduk dan pulang dengan sejumlah bu moeloed (makanan maulid).

Bagi santri dayah (pesantren), kedatangan bulan maulid, bagi mereka merupakan bulan untuk perbaikan gizi, dimana setiap hari menu makanan santri, rata-rata sayur dan alakadarnya. Dalam bulan maulid, para santri biasanya kebanjiran job, yaitu undangan menghadiri kenduri maulod ke tengah-tengah masyarakat. Sungguh ini sangat menggembirakan, dimana saat-saat seperti ini, bisa dikatakan waktunya santri bebas asap atau bebas dari rutinitas memasak di dapur sebagaimana hari-harinya. Begitu ada undangan kenduri maulid, ada santri yang menyahut rekan-rekannya dengan nada guyonan "Gantueng Kanoet- gantueng kanoet".

Santri, saat menghadiri peringatan maulid, memiliki sedikit perbedaan dengan anak-anak lain yang bukan santri. Mereka senantiasa dalam pengawasan guru atau seniornya untuk tetap menjaga tatakrama dan norma yang berlaku, seperti : menghentikan kegiatan meudikeu begitu waktu shalat tiba, tidak bercampurbaur dengan lawan jenis dan lain sebagainya. Walaupun, ada juga satu dua orang yang mungkin melakukan pelanggaran.

Etika Bermaulid

Semua kita mengetahui, bahwa pelaksanaan maulid di kita tidak hanya berlangsung sesaat atau di satu tempat saja, tetapi ini terus terlaksana, mulai dari tingkat propinsi sampai ke pelosok-pelosok desa, bahkan sampai berakhirnya bulan jumadil akhir. Lebih kurang, hampir empat bulan lebih masyarakat kita menyemarakkan peringatan kelahiran nabi ini. Dan ini berlangsung dengan berbagai macam corak; mulai dari penyiapan makanan Bue Idang Bungoeng, aneka perlombaan, bahkan di sebagian daerah ada yang memeriahkannya dengan menanam pohon pinang dengan gantungan berbagai aneka macam makanan dan minuman, untuk selanjutnya dinikmati oleh para undangan. Sangat uefuria. Untuk itu, sangat mungkin dengan keadaan seperti ini banyak menimbulkan spekulasi yang bercorak pula dari masyarakat.

Standardisasi dalam pelaksanaan maulid nabi tersebut adalah, bagaimana kita bisa merubah pola hidup kita ke pola hidup nabi secara universal. Begitulah tujuan utama dari pelaksanaan peringantan maulid tersebut. Namun, apakah semua yang menjadi tujuan tersebut, benar kita jadikan revitalisai untuk menuju ke hidupan nabi? Ini yang mungkin kesannya terlalu ambisius bagi kita yang melaksanakannya untuk menjawab "ya" demi mempertahankan kelestarian peringatan maulid nabi dengan yang tidak melaksanakannya, namun tidak pernah terealisasi dalam kehidupan nyata. Sehingga sifatnya sangat argumentatif, bukan implementatif.

Untuk itu, perlu kiranya dalam pelaksanaan maulid tersebut, kita memperhatikan hal-hal yang sifatnya lebih esensial dari peringatan maulid itu sendiri, sehingga tidak ada kesan, kita mengutamakan hal yang lebih kecil daripada hal yang lebih besar kepentingannya, yang semestinya kita jaga dan kita lestarikan.

Pertama, jaga shalat tepat waktu. Penulis menyaksikan, pelaksanaan maulid berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain, sebagian melaksanakannya sebelum waktu dhuhur, sebagian yang lain dimulai setelah waktu dhuhur tiba. Tapi, yang jelas, kedua-duanya sama-sama berhadapan dengan waktu shalat, yaitu waktu dhuhur bagi yang melaksanakannya sebelum dhuhur, dan waktu asar bagi yang melaksanakan setelah dhuhur. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, terutama sekali pihak ulama dan panitia penanggung jawab acara, bagaimana menjaga waktu shalat itu dengan baik dan keberlangsungan shalat tetap menjadi prioritas umat yang hadir, sehingga tidak terabaikan akibat pelaksanaan acara mauludan ini. Jangan sampai kelelahan karena acara meudikeu menyanjung Rasulullah, menjadi penyebab untuk meninggalkan shalat yang menjadi perintah terpenting dari Rasulullah.

Karena ini masalah inti dalam Islam, maka panitia pelaksana tidak boleh apatis terhadap masalah ini, dan ini harus terus disosialisasikan kepada masyarakat. Kesalahan yang sangat besar, bila pihak pelaksana dan penanggungjawab, menganggap masalah ini masalah yang sepele dan masalah sendiri-sendiri (nafsi-nafsi), serta menganggap tidak perlu mendapatkan perhatian yang super ketat. Bila ini terjadi dan dibiarkan terus saja terjadi, maka kita tidak sedang berusaha menuju ke kehidupan nabi, tapi justru kita sedang menutup mata dengan kuat untuk terhalangnya jalan nabi terlihat oleh kita dan orang lain.

Kedua, jangan bercampur-baur laki-laki dan perempuan. Acara maulid merupakan acara yang kita peruntukkan untuk menyampaikan ucapan salam dan sanjungan kepada baginda Nabi. Hal ini harus dijaga dari hal-hal yang yang menyimpang dan mencederai tujuan maulid itu, seperti bercampuraduknya laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Hal ini sangat mungkin terjadi, apalagi bila pelaksanaan acara maulid tersebut dilaksanakan secara besar-besaran seperti maulid kabupaten, maulid mahasiswa, dan acara maulid-maulid lain yang dilaksanakan oleh komunitas-komunitas tertentu lainnya.

Untuk itu, masalah ini juga masalah yang harus menjadi prioritas kita untuk mengantisipasinya dengan baik. Memenej acara sedemikian rupa, sehingga tidak akan terjadi sesuatu yang tidak boleh terjadi, apalagi di Aceh merupakan Nanggroe percontohan Islam di Nusantara. Kita upayakan pelaksanaan maulid di Aceh akan memiliki nilai integritas tinggi di mata agama dan di mata daerah lain di Indonesia.

Ketiga, jaga kemurnian dan kesucian mesjid. Mesjid merupakan tempat suci yang diperuntukkan untuk pelaksanaan shalat. Dalam pelaksanaan maulid, sebaiknya pihak pelaksana acara, tidak menggunakan mesjid sebagai tempat berlangsungnya acara (meudike lam mesjid), karena disamping dikawatirkan saat pembagian kenduri di akhir acara bisa mengakibatkan terkotorinya mesjid dengan kuah-kuah makanan, plastik dan sampah-sampah, tidak terkecuali abu dan puntung rukok. Juga, dapat mengganggu orang yang melaksanakan shalat di dalam mesjid, padahal sejatinya mesjid diperuntukkan untuk shalat, dan setiap kegiatan yang bisa mengganggu pelaksanaan orang shalat di dalam mesjid, maka hal itu harus dihentikan, seperti membaca quran dengan suara yang tinggi.

Keempat, hindari sifat mubazir. Penulis, sering mengingatkan adik-adik santri dulunya, supaya tidak membawa makanan setelah selesai acara, yang dikawatirkan tidak akan termanfaatkan semuanya (mubazir). Boleh membawa makanan sebanyak-banyaknya, tapi harus siap untuk mengantarkan kepada fakir miskin di sekitarnya, supaya tidak terbuang percuma. Kesempatan seperti ini, memang sudah menjadi sasaran pengunjung acara, bagaimana bisa mendapatkan makanan sebanyak-banyaknya, walaupun dia sadar itu semua belum tentu dibutuhkan, bahkan tidak jarang kita menyaksikan ada acara perebutan makanan oleh pengunjung yang hadir. Sungguh ini fenomena yang sangat-sangat tidak Islami dan menjatuhkan citra Islam di mata orang lain.

Untuk itu, demi keberlangsungan peringatan maulid dalam bingkai agama yang benar, mari sama-sama kita buat perubahan terhadap kekurangan-kekurangan yang ada, dengan sistem ivolusioner yang sistematis dan kontinyu, sehingga setiap pekerjaan yang kita lakukan akan menuai faidah bagi kita dan orang lain. Dan yang lebih penting, jerih payah kita dalam melaksanakan acara ini benar-benar akan membawa efek perubahan bagi kita selanjutnya, bukan justru sebaliknya, mengharap keuntungan besar, malah kerugian besar yang kita temui. "bak mita laba ube peh, metemeu paleuh ube pha".

Akhirnya, mari kita bermaulid bagi yang melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dengan menjaga nilai-nilai serta adab-adab yang telah diatur sedemikian rupa dalam Islam. Dan mari kita hindari perpecahan yang hanya akan memecah belah persaudaraan kita. Kita berbeda bukan untuk berperang, tapi kita berbeda untuk bersatu dan untuk membuktikan keindahan Islam itu sendiri. Wallahu al-Musta'an!...

Penulis: adalah alumnus Dayah Al-Madinatuddiniyah Babussalam, Blang Bladeh, Bireun. Dulu, guru Pesantren Syech. H. M. Waly al-Chalidy, Serambi Mekkah, Meulaboh Aceh-Barat.

Mengenang Idul Fitri Pertama

Hari-hari yang diberkati dan dimuliakan cuma tinggal satu hari lagi, kesempatan untuk meraih kemenangan di bulan suci telah diambang pintu, meninggalkan kenangan manis bagi sebagian orang yang telah mampu menggunakan waktu selama puasa untuk beramal sebanyak-banyaknya.

Muslim yang sejati akan sangat berat melepaskan kepergian bulan suci ramadhan yang penuh berkah ini, bulan dimana sangat mudah untuk memperoleh rahmat dan ampunan Allah, yang mana salah satu malamnya merupakan lebih baik dari pada seribu bulan, yang juga bulan dimana kitab suci al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup umat manusia. Rasa sedih timbul karena belum tentu di tahun depan akan kembali bertemu dengan ramadhan, mungkin usia akan ditutup oleh Allah sebelum ramadhan tahun depan kembali hadir.

Esok hari di saat matahari menyinari mayapada, kita yang di Aceh bersama satu setengah milyar penduduk muslim lain yang ada di planet bumi ini bersama-sama bersahut mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil mengagungkan Allah azzawajalla. Gema takbir akan membahana di seluruh penjuru dunia dalam rangka merayakan hari kemenangan yang diberkati ini.

Sudah menjadi tradisi kita setiap menjelang hari raya, maka akan terlihat pemandangan di masyarakat kita dalam rangka persiapan menyambut kedatangan hari kemenangan ini, mulai dari anak-anak dengan segudang persiapan, dengan pakaian barunya, sepatu baru, sepeda baru bahkan senapan mainan untuk berhari raya bersama teman kerabatnya, juga tidak ketinggalan yang bapak-bapak maupun ibu-ibunya dengan agenda pegoet kueh uroe raya, ganti perabot rumah tangga, dan sebagainya. Ini semua dalam rangka merayakan hari kemenangan di hari idul fitri yang diberkati.

Intinya, semua kita akan menampakkan muka yang berseri-seri di pagi hari raya dan mudah-mudahan itu tidak mengalahkan kebahagiaan batin kita yang baru selesai mengikuti perjuangan melawan hawa nafsu selama sebulan penuh di bulan suci ramadhan.

Semua hal di atas memang hampir sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita di saat hari raya, dan itu sah-sah saja asal tidak terlalu berlebihan, semua berjalan sesuai kemampuan dan kebutuhan. Jangan sampai semua hal di atas itu mengesampingkan atau melupakan esensi dari tujuan hari raya itu sendiri.

Penulis masih teringat sebuah perkataan salah satu ulama kita yang mengatakan : Bukanlah hari raya dengan menggunakan pakaian baru, tetapi hari raya adalah yang ketaatannya kepada Allah bertambah.

Perkataan di atas mungkin akan menjadi barometer bagi kita yang sedang akan melangsungkan hari raya dalam waktu dekat ini, termasuk ke dalam golongan manakah kita, apakah lebaran kita hanya sekedar memamerkan berbagai perlengkapan dunia yang telah kita beli dengan menghabiskan banyak uang atau lebaran kita telah dapat membawa kita meraih kemenangan yang sesungguhnya, yaitu memperoleh ampunan Allah dan perubahan yang berarti selama digembleng sebulan penuh dalam ramadhan.

Kita memang tidak mungkin berhari raya seperti apa yang pernah dilakukan nabi bersama sahabatnya dulu. Namun, semua itu masih bisa kita tiru semampu kita demi memperoleh ampunan dari Allah. Kita di jaman yang serba lengkap seperti saat ini berhari raya dengan berbagai persiapan yang mewah dan menyenangkan, lain halnya dengan apa yang dialami oleh Rasulullah bersama sahabat dulu.

Sejenak kita melihat kembali ke belakang, kembali merenungi saat-saat dimana Rasulullah bersama sahabat pertama sekali merayakan idul fitri, seperti apakah kegembiraan mereka dan seperti apakah suasana jiwa mereka ketika itu?

Tiga belas tahun masa perjuangan di Mekkah, perintah puasa belum diturunkan begitu juga dengan hari rayanya belum pernah ada sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Dengan semakin gencarnya penganiaan yang dialami rasul dan para sahabatnya di tanah kelahiran mereka oleh kafir Jahiliyah, dan nabi sudah yakin bahwaMekah sangat tidak kondusif untuk dijadikan sebagai Daulah Islamiyah, yang akhirnya turun perintah supaya melakukan hijrah ke Madinah.

Keberangkatan Nabi dan para sahabat meninggalkan tanah tumpah darah, meninggalkan harta benda, tanaman bahkan keluarga yang dicintai semata-mata demi menyelamatkan iman kepada Allah.

Dua tahun keberadaan nabi di Madinah ternyata tidak mengurangi ancaman demi ancaman dari kafir Quraisy Mekah terhadap beliau dan para sahabat. Mereka sering menganiaya sahabat dan mengintimidasi dengan berbagai cara supaya orang-orang mukmin tidak akan bisa hidup tenang. Rasulullah yang senantiasa menanggapi perlakuan kaumnya dari dulu dengan kelembutan dan kesabaran, ternyata di Madinah ini dijawab Allah untuk segera melakukan perlawanan atau melakukan peperangan apabila diserang oleh musuh. Perintah untuk berperang pun diturunkan Allah pada tahun kedua hijriah ini.

Tidak lama berselang dari perintah untuk berperang ini turun, kembali Allah menguji hamba-Nya yang pada saat itu sedang mempersiapkan diri menghadapi peperangan melawan kafir Quraisy, dengan diturunkannya perintah melakukan puasa, tepatnya pada bulan kesembilan di tahun yang sama. Allah benar-benar akan mencoba hamba-Nya dengan ujian yang cukup berat, berperang di gurun pasir yang tandus dalam keadaan menahan lapar dan dahaga. Subhanallah

Kita tau bahwa para sahabat merupakan orang-orang pase awal yang beriman kepada Allah, yang mana masa keislaman mereka masih sangat dekat dengan masa kajahiliyahannya dimana di masa kejahiliyahan mereka tidak pernah kenal dengan menahan lapar dan dahaga sehari penuh. Otomatis perintah puasa ini merupakan hal yang sangat baru dalam kehidupan mereka. Di satu sisi ini sangat bertentangan dengan kebiasaan mereka sebelumnya, namun disisi lain ini harus tetap dijalankan karena perintah tuhan yang mereka yakini keberadaan-Nya. Sungguh ini merupakan pengalaman spiritual yang baru, pengalaman yang akan merubah ruhani dan jiwa mereka serta mengangkat mereka ke langit ketinggian menemui kehendak-kehendak Allah untuk selanjutnya turun lagi ke bumi menemukan betapa kerdilnya kita di hadapan Allah dan betapa tidak berartinya kenikmatan dunia berbanding dengan kenikmatan yang ada di sisi Allah.

Puasa ini mereka jalankan dengan penuh keikhlasan walaupun dalam suasana negeri Arab yang sangat panas cuacanya. Baru tujuh belas hari mereka melaksanakan ibadah puasa, ternyata Allah berkehendak mempertemukan orang kafir Quraisy dengan orang mukmin yang sedang melangsungkan puasa perdana mereka tersebut. Sungguh ini merupakan hal yang mungkin sangat sulit untuk dijalankan dalam keadaan perut kosong dan cuaca panas menyengat. Para sahabat merasa belum siap untuk menyambut tawaran ini, namun Allah menginginkan mereka untuk menerima tawaran ini. Lagi-lagi, ini merupakan ujian iman yang luar biasa. Tepat pada tujuh belas ramadhan bertepatan dengan hari jumat, pertempuran antara muslim yang sedang berpuasa dengan kafir musyrikin pun pecah di salah salah satu lembah yang disebut dengan Badar.

Berperang di bawah terik matahari yang menyengat dalam keadaan lapar dan dahaga dan dengan taruhan nyawa bukanlah perkara yang mudah dilakukan oleh sembarang orang, ini butuh keyakinan yang betul-betul teruji keasliaannya, tidak bisa dengan iman cilet-cilet yang hanya tidak sahur saja sudah tidak bisa melangsungkan puasa apalagi bila diperintahkan berperang melawan musuh-musuh. Namun nabi dan para sahabat dengan semangat keimanan yang kuat, akhirnya bisa memenangkan peperangan ini dengan sangat gemilang.

Pengalaman puasa perdana telah menimbulkan kesan spiritual bagi mereka, ditambah lagi dengan peperangan melawan musuh yang memberikan pengalaman yang lebih dahsyat dengan dapat menundukkan kafir yang jauh lebih banyak dan bertenaga dari pada mereka. Ini menambah keyakinan mereka terhadap janji Allah, dan mereka bisa membuktikan terkabulnya doa nabi sebelumnya bahwa beliau akan menghancurkan Abu Jahal, Umayyah dan dedengkot-dedengkotnya di medan Badar, dan semua itu telah dibuktikan Allah di alam nyata. Mereka kembali ke Madinah membawa bendera kemenangan dengan membawa tujuh puluh tahanan setelah sebelumnya membunuh tujuh puluh musyrikin lainnya serta empat belas orang dari kalangan muslim tercatat menjadi syuhada yang dimuliakan.

Pulang kembali ke Madinah dengan rasa senang atas kemenangan melawan musuh, juga dengan duka cita yang dalam atas kehilangan rekan-rekan seperjuangan di medan Badar yang menjadi syuhada. Semua dengan penuh keimanan kepada Allah menyelesaikan sisa ramadhan yang masih tersisa sekitar tiga belas hari lagi.

Dalam keadaan sedang menyempurnakan hisab ramadhan, lagi-lagi Allah mengirim perintah yang lain dalam waktu yang tidak terlalu jauh, Allah mewajibkan muslim untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai sarana untuk membersihkan mereka dari sifat kikir dan cinta berlebihan terhadap dunia, juga sebagai sarana untuk membersihkan hati serta menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam diri mereka.

Barulah setelah tiga rangkaian kewajiban di atas, puasa, perang dan zakat, mereka memasuki dan merayakan hari kemenangan di idul fitri setelah mereka berhasil melawan setan dalam diri mereka melalui puasa, berhasil melawan musuh melalui perang, lalu membersihkan kedua kemenangan itu dengan zakat fitrah, tibalah saatnya menuju kemenangan yang hakiki di hari fitri.

Bayangkan bagaimana perasaan rasul bersama sahabat dalam pelaksanaan hari raya pertama dalam Islam ini? Bagaimana gerak langkah kaki mereka menuju lapangan untuk melaksanakan salat I’d sembari mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil memuji dan menyanjung Ilahi Rabbi Allah Azza Wajalla. Bukankah saat itu mereka sedang berduka dengan kehilangan orang-orang terdekat yang menjadi syuhada Badar, bagaimana pula perasaan keluarga yang ditinggal syahid dalam merayakan kemenangan di hari fitri tersebut.

Semua pertanyaan di atas larut dalam haru biru kegembiraan hakiki yang mereka rasakan. Hari itu jiwa mereka tenggelam bersama kesyahduan iman, menyatu dengan hakikat kehendak Allah dan dengan fitrah mereka. Inilah suasana hari kemenangan pertama dalam sejarah Islam.

Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita masing-masing, adakah kegembiraan yang kita nikmati di hari kemenangan ini sama seperti yang dirasakan oleh Nabi dan para sahabatnya dulu? Apakah kenikmatan yang kita rasakan di pagi yang fitri ini akibat dari bertambahnya keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah dan seterusnya akan menjadi pola hidup kita ke depan sebagaimana semasa ramadhan yang rajin ke mesjid, iktikaf, tilawah quran, terjaga pandangan, selamat lidah dari menghasut, menghujat dan sebagainya akan terus bertahan selamanya atau justru sudah tutup buku di pagi yang fitri yang kita sebut dengan hari kemenangan ini?

Andai ini berakhir di pagi idul fitri, maka sungguh ironi keadaan kita. Bisa dipastikan kita tidak sedang menuju hari kemenangan tetapi sedang menuju ke hari yang penuh dengan kacau balau lagi seperti sebelum ramadhan. Dan semangat yang timbul selama ramadhan yang tidak bertahan setelahnya, bisa kita sebut dengan suum ek manok.

Kita bermunajat kepada Allah semoga apa yang kita peroleh di bulan ramadhan berupa akhlak yang baik, perkataan yang baik dan semua amal baik akan terus bisa dipertahankan selamanya. Kita sonsong hari kemenangan ini dengan penuh semangat demi menjemput ridha Allah SWT. Amin.

PRIMADONA ELIT POLITIK

Mungkin dalam waktu yang tidak berapa lama lagi, kita, khususnya Aceh kembali akan melaksanakan pesta demokrasi dalam rangka pemilihan kepala daerah, baik di tingkat satu maupun tingkat dua. Isu mengenai siapa-siapa yang akan mencalonkan diri menjadi pemimpin nantinya sudah mulai terdengar bahkan diperbincangkan, mulai dari perkotaan sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil sekalipun.

Berbicara pemilihan langsung, sudah pasti tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang masyarakat banyak yang merupakan faktor utama dalam hal pemenangan di saat pemilihan nantinya. Dan juga sudah bisa dipastikan pemilih terbanyak itu berasal dari kalangan masyarakat biasa, baik yang di perkotaan lebih-lebih lagi di pelosok-pelosok desa, baik yang mengerti politik maupun yang super awam tentang perpolitikan. Nota bene nya, masyarakat kita adalah yang memiliki jenjang pendidikan yang seala kadarnya, juga taraf kehidupan yang biasa-biasa saja dari satu tahun ke tahun selanjutnya.

Menarik perhatian kita, di saat-saat menjelang pesta demokrasi ini, rakyat-rakyat biasa ini menjadi individu-individu yang mempesona. Pembicaraan mereka disimak dan diperhitungkan para elit calon kandidat, walaupun normalnya tidak demikian adanya. Walaupun mereka tidak pernah mengerti politik, tapi menjelang pesta demokrasi ini banyak juga mereka yang berlagak bak politikus kelas kakap. Mereka bisa berbicara diatas standar rata-rata, mereka bicara perubahan seakan-akan perubahan itu semudah membalikkan telapak tangan. Dan ini bukan sejatinya kebanyakan masyarakat kita, tapi ini seakan-akan bagaikan refleksi dari sesuatu yang baru ditemui di satu dua orang.

Penting sekali memang masyarakat kita mengerti dan diajari politik, tapi yang disayangkan bila mereka dipolitisir untuk mendapat sesuatu yang bersifat pribadi, demi meraup keuntungan pribadi, sedangkan mereka tidak pernah terperhatikan dengan baik setelahnya, selalu saja mereka dimarginalkan dari satu pemilihan ke pemilihan selanjutnya. Padahal setiap kali pemilihan, pasti slogan memberantas kemiskinan selalu saja menjadi tema utama setiap elit yang maju. Namun akhirnya, lagi-lagi rakyat biasa menjadi korban bujuk rayunya elit politik. Paling mereka cuma berkata “ka meuramah loem tanyoe”.

Rakyat memang sangat mudah terpana dan terpesona dengan janji-janji manis, walaupun sejarah telah sangat kenyang dirasakan sebelumnya. Mereka juga sadar saat-saat seperti ini merupakan saatnya elit-elit politik yang ingin mencalonkan diri nantinya sedang gencar-gencarnya mencari dan berusaha dekat dengan mereka, namun apakah mereka untuk saat sekarang ini bisa memilih dan memilah siapa gerangan sosok yang semestinya dipilih untuk menjadi pemimpinnya nantinya?, itu yang sulit untuk terjawabkan.

Kandidat yang berencana untuk maju, sudah mulai melirik peluang untuk menembus ranjau-ranjau penghalang, minimal merintis jalan untuk bisa tempus ke sasaran. Semua bicara keadilan merata, kemakmuran rakyat, pemberantasan kemiskinan, mencetak lapangan kerja dan sebagainya. Bahasa-bahasa seperti ini memang memiliki nilai jual tinggi bagi masyarakat. Ibarat lagi musim durian, semua komentar duriannya yang paling bagus, isinya tebal, rasanya manis dan sebagainya. Namun apakah masyarakat bisa jeli untuk menentukan mana yang baik dan mana pula yang tidak baik, semua terserahkan kepada masyarakat itu sendiri, sejarah bukan hanya perlu diungkap tapi juga perlu untuk diingat. Jatuh ke lobang yang sama, maka berarti membunuh diri sendiri. Bila kita memilih durian karena sesuatu (luarnya saja) tapi buka karena sesuatu (isinya), maka bukan saja kita telah merugikan diri sendiri dan anak isteri, tapi juga menjadi sampah bagi masyarakat banyak.

Masyarakat biasa adalah target utama elit politik untuk memberikan dukungan dan suaranya kepada mereka saat pemilihan, karena memang masyarakat biasalah yang mendominasi peserta pemilihan disamping yang lainnya, mereka juga sering dijadikan audien setia dari pidato elit politik, begitu renyah para elit berkhutbah tentang kesejahteraan rakyat, pemberantasan kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, sekan sudut kepedihan dan kemiskinan rakyat telah punah dari pandangan mata. Kepedihan rakyat yang bekerja banting tulang mencari nafkah setiap hari, bisa disulap seakan-akan menjadi kehidupan para elit juga, sehingga rakyat terbuai dan kembali tergoda dengan bujuk rayu para elit. Lidah mereka serasa begitu akrab dengan hidangan dari rakyat saat kedatangan mereka di satu pedesaan, walaupun cuma sambal terasi atau daun ubi yang merupakan makanan pavorit rakyat kecil dari satu pemilihan ke pemilihan yang lain yang belum bisa tergantikan sampai saat ini.

Inilah saatnya orang miskin menjadi idola, buah bibirnya para elit. Semua elit membelai mereka dengan kasih sayang dan janji-janji manis. Sejenak memang tidak sedikit masyarakat kecil yang bisa mengadu langsung kepada elit terhadap keluhan-keluhan yang dialami, sebab pintu rumah mereka senantiasa terbuka lebar untuk masyarakat luas, dan itu menjadi pengobat rasa ingin perubahan di hati rakyat sekalipun janji realisasinya di saat mereka terpilih menjadi pemimpin tidak ada jaminan sama sekali. Mendadak rakyat kecil menjadi tamu-tamu diskusi elit membahas dan membeber tema kemiskinan yang sebelumnya sangat susah untuk ditemui, merancang bersama strategi untuk memutuskan rantai kemiskinan. Lagi-lagi, rumah orang miskin di perkampungan menjadi tempat berteduhnya elit, tempat persinggahan sementara. Engkau primadona!

Keberpihakan kepada rakyat kecil ditunjukkan dengan melebur sampai ke akar-akarnya. Masyarakat terpana dan terpesona mendengarnya, seakan-akan wajah perubahan sudah sejengkal dengan mereka, rasa lelah menjadi buruh kasar sejak lama karena tidak diterima menjadi pekerja yang lebih layak karena faktor pendidikan yang rendah, seketika hilang dibuai pidato elit. Semua aspirasi masyarakat ditampung untuk dilaksanakan saat dalam kepemimpinannya nanti, janji membikin jalan, jembatan, peningkatan mutu pendidikan dan sebagainya semua seakan menjadi prioritas para elit, tapi berangkat dari pengalaman, rakyat hanya sebagai tempat persinggahan sementara. Dang-dang menang tadengo bandum, singoeh laen takira (Tampung semua buat sementara, nanti lain lagi ceritanya).

Jangan heran bila sering mendengar rakyat berkomentar, “dia mau jadi presiden, gubernur, bupati, saya tetaplah menjadi saya yang seperti ini, ngak ngaruh”. Sebagian menganggap ini kata-kata orang yang pendek cara berpikir (Paneuk antene). Tapi inilah yang mampu mereka utarakan sebab mereka tidak bisa berkomentar lebih baik seperti pemimpin-pemimpinnya. Dan ini merupakan kata-kata yang keluar dari alam bawah sadar mereka, karena seringnya impian perubahan yang dilontarkan, tidak pernah tersentuh sebagaimana perjanjian awal dengan mereka saat kampanye, janji dibuat jalan bahkan sampai akhir periode masa jabatan masih saja rakyat menempuh perjalanan sepuluh kilometer dengan waktu satu jam lebih kurangnya, bedanya dengan di Jakarta mereka menempuh dalam waktu satu jam karena faktor kemacetan, tapi rakyat dikampung karena jalanan mereka memiliki kolam-kolam renang kecil di badan jalan, sehingga kata-kata seperti ini keluar sendirinya tanpa mereka sadari. Kita tidak bisa bersembunyi dari ini, bila tetap dipaksakan untuk dibantah, maka ibaratnya kita sedang bersembunyi dibalik jala (meusom lam jeu).

Rakyat tidak butuh janji muluk, yang dibutuhkan perubahan dan implementasi nyata. Buat apa janji semanis madu, tapi tidak pernah tersampaikan, lebih baik janjikan kepada mereka yang biasa-biasa saja yang mudah untuk dilaksanakan, rakyat pun tidak terlalu menaruh harapan besar terhadap hal yang sangat sulit untuk dilaksanakan. Berikan kami (masyarakat) harapan yang mampu untuk dilaksanakan, jangan janjikan kami gunung emas tapi imitasipun tidak pernah kami dapatkan. Sampaikan keinginan yang datang dari hati yang tulus untuk masyarakat, jangan menghujat dan memojokkan pihak lain yang juga maju sebagai kandidat, dan biarkan masyarakat memilih dengan hati nuraninya, jangan beli kami dengan peng grik, biarkan kami memilih pemimpin kami tanpa ada embel-embel apapun selain keteladannya.

Kami ucapkan selamat berdemokrasi yang sehat, semoga akan mendatangkan perubahan nyata di masyarkat banyak. Harapan kami (masyarakat) sekali lagi, kami yang akan mengantarkan anda ke kursi empuk dan istana pendopo, namun jangan sampai mengabaikan kami dengan segudang rindu akan perubahan. Jangan sampai nantinya engkau berlalu di akhir masa jabatan dengan segudang uang kami dan kemewahan duniawi yang mempesona. Jangan sampai kami kembali bernyanyi “Engkau yang berjanji, engkau pula yang ingkari”

Penulis : Mahasiswa asal Aceh, kuliah di Jakarta.