Pendidikan merupakan hal yang paling substansial dalam kehidupan umat manusia, untuk menggapai kesuksesan hidup dunia dan akhirat. Semua agama dan bangsa di dunia memprioritaskan pendidikan demi menatap masa depan yang baik dan mulia. Begitu juga kiranya dengan kita (Aceh) bagaimana dengan segenap kemampuan kita curahkan demi mewujudkan pendidikan yang berkwalitas. Kalau dalam perundingan RI-GAM dulu kita telah dimediator oleh Negara Finlandia, tidak salahnya juga bila kiranya dalam bidang pendidikan kita mengikuti jejak mereka yang telah berhasil memecahkan rekor dunia sebagai negara yang paling bagus mutu pendidikannya, dan perlu kita ketahui keberhasilan mereka bukan disebabkan faktor sarana yang canggih dan mewah, tapi karena faktor guru yang memiliki kapasitas memadai sebagai seorang guru.
Aceh, yang ternyata menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang muslim lain yang ada di Indonesia, akan sangat tergantung masa depannya di tangan generasi muda Aceh saat ini. Mereka-merekalah yang akan menyambung tongkat estafet Aceh di kemudian hari. Mau dibawa kemana Aceh nantinya, ke arah yang lebih maju dan lebih baik dari sekarang atau justru sebaliknya, semua sangat tergantung kepada pendidikan yang kita berikan kepada mereka saat ini. Bisa dipastikan, untuk menyonsong Aceh yang lebih baik dari hari ini tidak lain adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan Aceh sejak dini, membekali mereka dengan berbagai basic ilmu pengetahuan modern dan yang tidak kalah pentingnya membina mereka menjadi manusia yang berwawasan luas dengan ditopang akhlakul karimah yang tinggi. Intinya, mereka lebih hal berpengetahuan juga memiliki akhlak yang lebih pula.
Menyimak tulisan saudara Anas M. Adam, Mengurus Pendidikan Aceh, edisi Sabtu, 16 Oktober 2010 dimana orientasi perhatian kita saat ini tertuju kepada pembangunan fisik bukan atau sedikit sekali kepada penguatan kapasitas guru sebagai ujung tombaknya keberhasilan sebuah lembaga pendidikan, penulis sangat setuju dan di sini penulis juga ingin menambahkan beberapa hal yang semestinya mendapatkan perhatian khusus dari kita semua terutama sekali pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam menangani masalah pendidikan Aceh. Penulis mendengar paparan dosen penulis baru-baru ini “bagaimana pendidikan kita bisa menyaingi pendidikan luar negeri, sedangkan guru-guru kita sejak menjadi guru bahkan sudah empat belas tahun, belum pernah sekalipun mendapat pembekalan, apa yang ada semenjak menjadi guru, itulah yang dimilikinya sampai kini walaupun bumi telah jauh berputar”.
Keberhasilan sebuah pendidikan sangatlah tergantung kepada beberapa faktor, salah satu diantaranya yang paling urgen adalah guru. Guru, merupakan ujung tombaknya pendidikan, yang paling bertanggung jawab dalam mencapai tujuan akhir sebuah pendidikan. Menjadi seorang guru merupakan suatu hal yang sangat mulia, sebab menjadi seorang guru berarti menjadi pemikul amanah yang cukup besar yang harus dipertanggung jawabkan dunia akhirat. Mengolah manusia untuk menjadi manusia bukanlah perkara gampang seperti yang dikira kebanyakan kita selama ini, giliran jadwal mengajar kita mengajar terus selanjutnya selesai dan di akhir bulannya ambil upah. Tidaklah segampang itu, tapi apa yang dihasilkan dari produksi kita selama ini, sudah sukseskah kita menjadikan manusia ke manusia seutuhnya? Ini yang harus kita pertanyakan. Salah seorang pemerhati pendidikan di Indonesia berkata: “Di tangan seorang guru yang cekatan, fasilitas dan sarana yang kurang memadai dapat diatasi, namun sebaliknya di tangan guru yang kurang cakap, sarana dan fasilitas yang canggih pun tidak banyak memberi manfaat”.
Islam menberikan apresiasi yang tinggi kepada guru dengan gelaran alim atau ulama yang dijanjikan pahala besar di akhirat nanti. Sebab yang menjadi guru sudah tentu yang memiliki kapasitas lebih dalam bidang ilmu pengetahuan dan akhlak, dan dalam istilah Islam disebut dengan alim. Orang alim merupakan orang yang menerima penghargaan besar dan tanggung jawab besar dari Islam, yaitu menjadi pewarisnya para nabi dalam menyampaikan kebenaran kepada umat, mendidik dan mengajak mereka untuk berilmu, berakhlak, berjalan sebagaimana tuntunan dalam tatanan Tuhan Sang Pencipta. Di sini penulis ingin membahas sedikit mengenai kualifikasi seorang guru yang ideal.
Guru yang ideal memiliki empat kriteria khusus, yaitu: pertama persyaratan administratif, di sini melingkupi akhlak yang baik, memiliki usia yang cukup untuk menjadi seorang guru, bahkan disyaratkan memiliki kewarganegaraan yang sah serta mengajukan permohonan sesuai dengan prosedur. Berakhlak mulia sangat menentukan untuk melahirkan generasi yang berakhlak pula. Sangat tidak mungkin seseorang yang diajarkan untuk berakhlak mulia namun yang memberikan pelajaran justru pelanggar aturan-atuaran yang ada. Seorang guru yang tidak taat kepada Allah tidak mungkin bisa menjadi guru untuk menjadikan anak didiknya menjadi manusia yang muttaqin. Jangan heran bila sekarang kita menyaksikan banyak generasi muda kita yang berakhlak tidak sesuai dengan aturan, ini salah satu faktornya adalah orang yang semestinya menjadi idola dan teladannya tidak bisa menjadi sosok yang diteladani. Kejadian beberapa hari yang lalu, Cek Gu “MIN” dilas di rumoh kosong, Serambi, Edisi Kamis, 21 Oktober 2010, telah mencoreng nama baik guru yang semestinya menjadi idola setiap orang. Coba kita bayangkan, apa yang akan terjadi bila pendidik kita seperti ini? Lebih menyakitkan lagi ini guru sekolah dasar agama, mungkinkah guru seperti ini bisa mendidik muridnya menjadi manusia yang berkarakter mulia, berdalih mengantarkan siswanya untuk ikut personi, malah dia mengambil kesempatan untuk bermaksiat? Kita tidak mengatakan semua guru kita seperti ini, tapi diakui atau tidak beginilah sebagian guru-guru muda kita menjadi obyek pembicaraan negatif di kalangan masyarakat karena kelakuannya yang tidak mulia.
Kedua, persyaratan teknis. Teknis, yaitu hendaknya seorang guru itu memiliki background pendidikan yang memadai dibidangnya masing-masing, teknis mendidik yang mapan dan ini dibuktikan dengan memiliki ijazah pendidikan. Ijazah juga bukan hanya barometer untuk sahnya seseorang menjadi seorang guru yang ideal, namun semua itu harus bisa dibuktikan di lapangan, memberikan kepuasan batin bagi peserta didiknya dalam menjawab semua permasalahan, tidak mengada-ngada dalam penyampaian materi sehingga kesannya asal sudah masuk kelas berarti sudah selesai tanggung jawabnya sebagai guru. Banyak guru yang asal ngomong tapi tidak memiliki referensi yang bisa dipertanggung jawabkan tentang keabsahan apa yang diucapkan, akhirnya orang mengatakan usia ilmu yang dimiliki tidak lebih dari satu hari. Begitu juga halnya dengan teknis mengajar sangat menentukan bagi peserta didik untuk sampainya apa yang dipaparkan guru kepada mereka. Bila kiranya peserta didik tidak mengerti apa yang disampaikan guru, belum tentu itu semua faktor kurang keintelektualannya tapi bisa jadi teknis pembelajaran yang ditampilkan seorang guru tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Disinilah sangat dibutuhkan seorang guru yang menguasai teknis pembelajaran aktif, kreatif, inovatif dan menyenangkan (PAIKEM). Disamping itu juga, seorang guru harus memelihara kemuliaan ilmu dengan mengamalkan ilmunya. Seorang guru yang ideal itu lebih banyak memberikan teladan daripada memberikan wejangan, sebab memang tugas seorang guru itu bukan hanya memberikan ceramah tapi menampakkan isi ceramah dalam kehidupannya.
Ketiga, persyaratan psikis. Yaitu, seorang guru memiliki rohani yang mulia, bertaqwa, sabar, ramah, sopan, bertanggung jawab dan mematuhi norma dan nilai yang berlaku dan yang lebih penting bisa berpikir dewasa. Intinya, seorang guru tersebut harus menjadi seorang ayah/ ibu bagi anak-anak didiknya, kasih sayang diberikan merata tanpa pilih kasih, menyampaikan dan menampakkan hal-hal yang baik supaya anaknya menjadi baik dan mulia, mengajak mereka untuk berbuat baik, menghukum bila mereka bersalah dengan tujuan mendidik bukan karena dendam, mencontohi yang baik-baik dan sebagainya. Guru yang gagal adalah guru yang arogan, otoriter, sombong, angkuh terhadap murid-muridnya, sehingga sering kita mendengar keluhan dari peserta didik saat ini, baik di tingkat SD, SMP, SMU bahkan di perguruan tinggi terhadap kelakuan gurunya yang tidak disenangi, bahkan ada guru yang menjadi momok menakutkan bagi muridnya. Cara bicaranya yang tidak menampakkan akhlak yang baik, merasa diri paling benar sehingga menyalahkan murid dengan semudahnya, mendapat kesulitan saat ada sesuatu yang ingin dimusyawarahkan, mempersulit sesuatu yang sebenarnya sangat mudah, bertele-tele dan berbelit-belit dalam berbagai permasalahan. Yang lebih menyedihkan sampai ada yang mendemo supaya di non-aktifkan guru yang demikian. Bila begini kejadiannya, lalu dimana juga wibawa seorang guru di mata muridnya?
Keempat, persyaratan fisik. Persyaratan fisik ini mengarah kepada sehat jasmani, juga kerapian, kebersihan dan lain-lain. Mungkin ini tidak terlalu menjadi perhatian kita, tapi sebenarnya ini sangat menentukan bagi peserta didik melihat penampilan gurunya yang gagah, rapi dan bersih. Rapi di sini bukan juga dalam arti harus berdasi, bersepatu mewah dan sebagainya, tetapi menampilkan kesederhanaan yang bersahaja, tidak menyolok pandangan dan sesuai dengan profesi sebagai seorang guru. Kesehatan jasmani juga merupakan hal yang harus diutamakan, jangan sampai pendidikan anak-anak didik terbengkalai karena kurang fit guru dalam masalah kesehatan.
Bila kita memiliki guru yang memenuhi kualifikasi yang matang, maka tujuan pendidikan kita menciptakan generasi yang mapan akan segera terwujud. Memang gedung-gedung yang bagus, ber-AC sangat kita butuhkan demi kenyamanan lajunya proses pembelajaran, tapi itu semua tidak akan meningkatkan mutu lulusan kita bila tenaga pengajarnya tidak kita tingkatkan kwalitasnya. Kita bangga telah memiliki banyak gedung mewah di dunia pendidikan kita, tapi rasa malu terhadap banyaknya lulusan kita yang bobrok juga tidak tertutupi dengan gedung-gedung mewah yang kita miliki. Kita senang dan bahagia serta berterima kasih karena anak Aceh saat ini telah bisa belajar di gedung yang indah dan megah tapi alangkah senangnya lagi bila semua itu dipadukan dengan memiliki tenaga pengajar yang handal dan cakap. Kita boleh tidak memiliki sekolah berstandar internasional seperti di kota-kota besar, tapi kita harus memiliki guru yang berstandar internasional walaupun gedungnya di ujung-ujung negeri tak terjangkau media. Boleh kita tidak memiliki guru khusus bahasa Inggris misalnya, asal ada guru lain yang mampu berbahasa Inggris, dari pada punya guru khusus bahasa Inggris, tapi jangankan mendidik orang lain untuk bisa berbahasa Inggris, dia sendiri tidak mampu. Han glah meu keudroe, kiban tabrie keu gob.
Tenaga pengajar yang mapan dan juga mencukupi sebagaimana standarnya sebuah sekolah sangat dibutuhkan di setiap rumah sekolah tidak terkecuali rumah sekolah yang keadaan fisiknya telah reot di makan usia. Lagi pula, menurut penulis masalah fisik bangunan yang masih layak huni walaupun tidak termasuk kategori mewah itu tidak terlalu menjadi permasalahan yang berarti, asalkan proses belajar mengajar tetap bisa berjalan secara baik dan menghasilkan out put yang sebagaimana diharapkan. Buat apa juga punya sarana yang modern bila tidak bisa menghasilkan out put yang baik.
Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin memberikan contoh sebagai sampel, Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat memiliki lembaga pendidikan mulai dari SD,MI,SLTP, MTs, MAN dan SMU sebanyak 20 unit di berbagai desa di kecamatan tersebut. Sebagai contoh, Sekolah Dasar Negeri (SDN) Seuneubok Teungoh, dimana saat ini hanya memiliki guru negeri 4 orang, selebihnya adalah tenaga honorer. Coba kita bayangkan bagaimana repotnya mengurus anak-anak satu sekolahan dengan tenaga yang cuma empat orang itu, dan itu sudah termasuk kepala sekolahnya? Mungkinkah keadaan seperti ini akan mendapatkan hasil yang maksimal? Bagaimana ini bisa kita biarkan begitu saja tanpa mendapatkan perhatian baik dari kita. Wajar rasanya, bila anak-anak di perkotaan lebih berwawasan dan lebih unggul dibandingkan dengan anak-anak yang sekolah di pedesaan, karena anak kota di samping memiliki sarana pendukung lainnya untuk belajar juga memiliki guru yang cukup, sedangkan di pedesaan mendengar alat-alat canggih saja tidak pernah apalagi melihatnya, ditambah lagi dengan kurangnya tenaga pengajar. Mendengar microscope misalnya mereka bertanya “pu melatangnyan?”
Memang tidak mungkin menjadikan sekolah di pedesaan sama seperti sekolah yang ada di perkotaan yang memiliki banyak guru bahkan mungkin melebihi, tapi setidaknya minimal sekolah-sekolah yang di pedesaan mencukupi sebanyak kelas yang ada saja sudah sangat baik.
Mengenai dengan sarana, bila kita mengamati banyak juga sarana yang disediakan untuk kelancaran operasional sekolah yang dibangun seperti rumah tempat tinggal guru. Tapi, lagi-lagi penulis mengambil contoh di Kecamatan Arongan Lambalek yang pernah penulis amati banyak rumah dinas guru yang keberadaannya sangat mubazir karena tidak ada yang menempati. Kalau memang dibuat untuk tidak ditempati, buat apa juga dibuat, bukankah lebih baik dana tersebut kita alokasikan saja untuk hal lain yang lebih dibutuhkan. Dua rumah dinas yang ada di SDN Rimba Langgeh Kecamatan Arongan Lambalek yang masih sangat baru, merupakan contoh yang tidak digunakan oleh yang berhak menempati. Padahal keberadaan guru di lokasi sekolah sangat banyak mendatangkan manfaat, baik bagi sekolah itu sendiri maupun bagi masyarakat sekitar.
Dengan mendapat perhatian lebih dari semua elemen masyarakat terhadap pendidikan generasi muda kita, terutama pihak yang berwenang sampai masyarakat biasa, semua kita ikut andil memantau lajunya proses pendidikan anak-anak bangsa, maka mudah-mudahan pendidikan generasi muda Aceh akan cepat tertangani menuju era cemerlang di masa depan dalam tatanan Ilahi. Amin.
Penulis adalah: Mahasiswa asal Aceh, kuliah di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar yang baik insya Allah tidak akan membuat kebanggan dan begitu juga mudah-mudahan komentar yang memojok dijadikan bahan intropeksi...