Hari-hari yang diberkati dan dimuliakan cuma tinggal satu hari lagi, kesempatan untuk meraih kemenangan di bulan suci telah diambang pintu, meninggalkan kenangan manis bagi sebagian orang yang telah mampu menggunakan waktu selama puasa untuk beramal sebanyak-banyaknya.
Muslim yang sejati akan sangat berat melepaskan kepergian bulan suci ramadhan yang penuh berkah ini, bulan dimana sangat mudah untuk memperoleh rahmat dan ampunan Allah, yang mana salah satu malamnya merupakan lebih baik dari pada seribu bulan, yang juga bulan dimana kitab suci al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup umat manusia. Rasa sedih timbul karena belum tentu di tahun depan akan kembali bertemu dengan ramadhan, mungkin usia akan ditutup oleh Allah sebelum ramadhan tahun depan kembali hadir.
Esok hari di saat matahari menyinari mayapada, kita yang di Aceh bersama satu setengah milyar penduduk muslim lain yang ada di planet bumi ini bersama-sama bersahut mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil mengagungkan Allah azzawajalla. Gema takbir akan membahana di seluruh penjuru dunia dalam rangka merayakan hari kemenangan yang diberkati ini.
Sudah menjadi tradisi kita setiap menjelang hari raya, maka akan terlihat pemandangan di masyarakat kita dalam rangka persiapan menyambut kedatangan hari kemenangan ini, mulai dari anak-anak dengan segudang persiapan, dengan pakaian barunya, sepatu baru, sepeda baru bahkan senapan mainan untuk berhari raya bersama teman kerabatnya, juga tidak ketinggalan yang bapak-bapak maupun ibu-ibunya dengan agenda pegoet kueh uroe raya, ganti perabot rumah tangga, dan sebagainya. Ini semua dalam rangka merayakan hari kemenangan di hari idul fitri yang diberkati.
Intinya, semua kita akan menampakkan muka yang berseri-seri di pagi hari raya dan mudah-mudahan itu tidak mengalahkan kebahagiaan batin kita yang baru selesai mengikuti perjuangan melawan hawa nafsu selama sebulan penuh di bulan suci ramadhan.
Semua hal di atas memang hampir sudah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita di saat hari raya, dan itu sah-sah saja asal tidak terlalu berlebihan, semua berjalan sesuai kemampuan dan kebutuhan. Jangan sampai semua hal di atas itu mengesampingkan atau melupakan esensi dari tujuan hari raya itu sendiri.
Penulis masih teringat sebuah perkataan salah satu ulama kita yang mengatakan : Bukanlah hari raya dengan menggunakan pakaian baru, tetapi hari raya adalah yang ketaatannya kepada Allah bertambah.
Perkataan di atas mungkin akan menjadi barometer bagi kita yang sedang akan melangsungkan hari raya dalam waktu dekat ini, termasuk ke dalam golongan manakah kita, apakah lebaran kita hanya sekedar memamerkan berbagai perlengkapan dunia yang telah kita beli dengan menghabiskan banyak uang atau lebaran kita telah dapat membawa kita meraih kemenangan yang sesungguhnya, yaitu memperoleh ampunan Allah dan perubahan yang berarti selama digembleng sebulan penuh dalam ramadhan.
Kita memang tidak mungkin berhari raya seperti apa yang pernah dilakukan nabi bersama sahabatnya dulu. Namun, semua itu masih bisa kita tiru semampu kita demi memperoleh ampunan dari Allah. Kita di jaman yang serba lengkap seperti saat ini berhari raya dengan berbagai persiapan yang mewah dan menyenangkan, lain halnya dengan apa yang dialami oleh Rasulullah bersama sahabat dulu.
Sejenak kita melihat kembali ke belakang, kembali merenungi saat-saat dimana Rasulullah bersama sahabat pertama sekali merayakan idul fitri, seperti apakah kegembiraan mereka dan seperti apakah suasana jiwa mereka ketika itu?
Tiga belas tahun masa perjuangan di Mekkah, perintah puasa belum diturunkan begitu juga dengan hari rayanya belum pernah ada sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Dengan semakin gencarnya penganiaan yang dialami rasul dan para sahabatnya di tanah kelahiran mereka oleh kafir Jahiliyah, dan nabi sudah yakin bahwaMekah sangat tidak kondusif untuk dijadikan sebagai Daulah Islamiyah, yang akhirnya turun perintah supaya melakukan hijrah ke Madinah.
Keberangkatan Nabi dan para sahabat meninggalkan tanah tumpah darah, meninggalkan harta benda, tanaman bahkan keluarga yang dicintai semata-mata demi menyelamatkan iman kepada Allah.
Dua tahun keberadaan nabi di Madinah ternyata tidak mengurangi ancaman demi ancaman dari kafir Quraisy Mekah terhadap beliau dan para sahabat. Mereka sering menganiaya sahabat dan mengintimidasi dengan berbagai cara supaya orang-orang mukmin tidak akan bisa hidup tenang. Rasulullah yang senantiasa menanggapi perlakuan kaumnya dari dulu dengan kelembutan dan kesabaran, ternyata di Madinah ini dijawab Allah untuk segera melakukan perlawanan atau melakukan peperangan apabila diserang oleh musuh. Perintah untuk berperang pun diturunkan Allah pada tahun kedua hijriah ini.
Tidak lama berselang dari perintah untuk berperang ini turun, kembali Allah menguji hamba-Nya yang pada saat itu sedang mempersiapkan diri menghadapi peperangan melawan kafir Quraisy, dengan diturunkannya perintah melakukan puasa, tepatnya pada bulan kesembilan di tahun yang sama. Allah benar-benar akan mencoba hamba-Nya dengan ujian yang cukup berat, berperang di gurun pasir yang tandus dalam keadaan menahan lapar dan dahaga. Subhanallah
Kita tau bahwa para sahabat merupakan orang-orang pase awal yang beriman kepada Allah, yang mana masa keislaman mereka masih sangat dekat dengan masa kajahiliyahannya dimana di masa kejahiliyahan mereka tidak pernah kenal dengan menahan lapar dan dahaga sehari penuh. Otomatis perintah puasa ini merupakan hal yang sangat baru dalam kehidupan mereka. Di satu sisi ini sangat bertentangan dengan kebiasaan mereka sebelumnya, namun disisi lain ini harus tetap dijalankan karena perintah tuhan yang mereka yakini keberadaan-Nya. Sungguh ini merupakan pengalaman spiritual yang baru, pengalaman yang akan merubah ruhani dan jiwa mereka serta mengangkat mereka ke langit ketinggian menemui kehendak-kehendak Allah untuk selanjutnya turun lagi ke bumi menemukan betapa kerdilnya kita di hadapan Allah dan betapa tidak berartinya kenikmatan dunia berbanding dengan kenikmatan yang ada di sisi Allah.
Puasa ini mereka jalankan dengan penuh keikhlasan walaupun dalam suasana negeri Arab yang sangat panas cuacanya. Baru tujuh belas hari mereka melaksanakan ibadah puasa, ternyata Allah berkehendak mempertemukan orang kafir Quraisy dengan orang mukmin yang sedang melangsungkan puasa perdana mereka tersebut. Sungguh ini merupakan hal yang mungkin sangat sulit untuk dijalankan dalam keadaan perut kosong dan cuaca panas menyengat. Para sahabat merasa belum siap untuk menyambut tawaran ini, namun Allah menginginkan mereka untuk menerima tawaran ini. Lagi-lagi, ini merupakan ujian iman yang luar biasa. Tepat pada tujuh belas ramadhan bertepatan dengan hari jumat, pertempuran antara muslim yang sedang berpuasa dengan kafir musyrikin pun pecah di salah salah satu lembah yang disebut dengan Badar.
Berperang di bawah terik matahari yang menyengat dalam keadaan lapar dan dahaga dan dengan taruhan nyawa bukanlah perkara yang mudah dilakukan oleh sembarang orang, ini butuh keyakinan yang betul-betul teruji keasliaannya, tidak bisa dengan iman cilet-cilet yang hanya tidak sahur saja sudah tidak bisa melangsungkan puasa apalagi bila diperintahkan berperang melawan musuh-musuh. Namun nabi dan para sahabat dengan semangat keimanan yang kuat, akhirnya bisa memenangkan peperangan ini dengan sangat gemilang.
Pengalaman puasa perdana telah menimbulkan kesan spiritual bagi mereka, ditambah lagi dengan peperangan melawan musuh yang memberikan pengalaman yang lebih dahsyat dengan dapat menundukkan kafir yang jauh lebih banyak dan bertenaga dari pada mereka. Ini menambah keyakinan mereka terhadap janji Allah, dan mereka bisa membuktikan terkabulnya doa nabi sebelumnya bahwa beliau akan menghancurkan Abu Jahal, Umayyah dan dedengkot-dedengkotnya di medan Badar, dan semua itu telah dibuktikan Allah di alam nyata. Mereka kembali ke Madinah membawa bendera kemenangan dengan membawa tujuh puluh tahanan setelah sebelumnya membunuh tujuh puluh musyrikin lainnya serta empat belas orang dari kalangan muslim tercatat menjadi syuhada yang dimuliakan.
Pulang kembali ke Madinah dengan rasa senang atas kemenangan melawan musuh, juga dengan duka cita yang dalam atas kehilangan rekan-rekan seperjuangan di medan Badar yang menjadi syuhada. Semua dengan penuh keimanan kepada Allah menyelesaikan sisa ramadhan yang masih tersisa sekitar tiga belas hari lagi.
Dalam keadaan sedang menyempurnakan hisab ramadhan, lagi-lagi Allah mengirim perintah yang lain dalam waktu yang tidak terlalu jauh, Allah mewajibkan muslim untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai sarana untuk membersihkan mereka dari sifat kikir dan cinta berlebihan terhadap dunia, juga sebagai sarana untuk membersihkan hati serta menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam diri mereka.
Barulah setelah tiga rangkaian kewajiban di atas, puasa, perang dan zakat, mereka memasuki dan merayakan hari kemenangan di idul fitri setelah mereka berhasil melawan setan dalam diri mereka melalui puasa, berhasil melawan musuh melalui perang, lalu membersihkan kedua kemenangan itu dengan zakat fitrah, tibalah saatnya menuju kemenangan yang hakiki di hari fitri.
Bayangkan bagaimana perasaan rasul bersama sahabat dalam pelaksanaan hari raya pertama dalam Islam ini? Bagaimana gerak langkah kaki mereka menuju lapangan untuk melaksanakan salat I’d sembari mengumandangkan takbir, tahmid dan tahlil memuji dan menyanjung Ilahi Rabbi Allah Azza Wajalla. Bukankah saat itu mereka sedang berduka dengan kehilangan orang-orang terdekat yang menjadi syuhada Badar, bagaimana pula perasaan keluarga yang ditinggal syahid dalam merayakan kemenangan di hari fitri tersebut.
Semua pertanyaan di atas larut dalam haru biru kegembiraan hakiki yang mereka rasakan. Hari itu jiwa mereka tenggelam bersama kesyahduan iman, menyatu dengan hakikat kehendak Allah dan dengan fitrah mereka. Inilah suasana hari kemenangan pertama dalam sejarah Islam.
Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita masing-masing, adakah kegembiraan yang kita nikmati di hari kemenangan ini sama seperti yang dirasakan oleh Nabi dan para sahabatnya dulu? Apakah kenikmatan yang kita rasakan di pagi yang fitri ini akibat dari bertambahnya keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah dan seterusnya akan menjadi pola hidup kita ke depan sebagaimana semasa ramadhan yang rajin ke mesjid, iktikaf, tilawah quran, terjaga pandangan, selamat lidah dari menghasut, menghujat dan sebagainya akan terus bertahan selamanya atau justru sudah tutup buku di pagi yang fitri yang kita sebut dengan hari kemenangan ini?
Andai ini berakhir di pagi idul fitri, maka sungguh ironi keadaan kita. Bisa dipastikan kita tidak sedang menuju hari kemenangan tetapi sedang menuju ke hari yang penuh dengan kacau balau lagi seperti sebelum ramadhan. Dan semangat yang timbul selama ramadhan yang tidak bertahan setelahnya, bisa kita sebut dengan suum ek manok.
Kita bermunajat kepada Allah semoga apa yang kita peroleh di bulan ramadhan berupa akhlak yang baik, perkataan yang baik dan semua amal baik akan terus bisa dipertahankan selamanya. Kita sonsong hari kemenangan ini dengan penuh semangat demi menjemput ridha Allah SWT. Amin.