Peringatan maulid nabi terus dilaksanakan di berbagai wilayah di Aceh, dimulai sejak tanggal 12 Rabiul Awal, dan baru akan berakhir pada bulan Jumadil Akhir nantinya. Sangat lama dan sangat variatif di setiap belahan wilayah Aceh. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa memiliki cara tersendiri memperingatinya, dan mulai dari yang memiliki niat mulia dalam peringatan tersebut sampai kepada yang hanya datang, duduk dan pulang dengan sejumlah bu moeloed (makanan maulid).
Bagi santri dayah (pesantren), kedatangan bulan maulid, bagi mereka merupakan bulan untuk perbaikan gizi, dimana setiap hari menu makanan santri, rata-rata sayur dan alakadarnya. Dalam bulan maulid, para santri biasanya kebanjiran job, yaitu undangan menghadiri kenduri maulod ke tengah-tengah masyarakat. Sungguh ini sangat menggembirakan, dimana saat-saat seperti ini, bisa dikatakan waktunya santri bebas asap atau bebas dari rutinitas memasak di dapur sebagaimana hari-harinya. Begitu ada undangan kenduri maulid, ada santri yang menyahut rekan-rekannya dengan nada guyonan "Gantueng Kanoet- gantueng kanoet".
Santri, saat menghadiri peringatan maulid, memiliki sedikit perbedaan dengan anak-anak lain yang bukan santri. Mereka senantiasa dalam pengawasan guru atau seniornya untuk tetap menjaga tatakrama dan norma yang berlaku, seperti : menghentikan kegiatan meudikeu begitu waktu shalat tiba, tidak bercampurbaur dengan lawan jenis dan lain sebagainya. Walaupun, ada juga satu dua orang yang mungkin melakukan pelanggaran.
Etika Bermaulid
Semua kita mengetahui, bahwa pelaksanaan maulid di kita tidak hanya berlangsung sesaat atau di satu tempat saja, tetapi ini terus terlaksana, mulai dari tingkat propinsi sampai ke pelosok-pelosok desa, bahkan sampai berakhirnya bulan jumadil akhir. Lebih kurang, hampir empat bulan lebih masyarakat kita menyemarakkan peringatan kelahiran nabi ini. Dan ini berlangsung dengan berbagai macam corak; mulai dari penyiapan makanan Bue Idang Bungoeng, aneka perlombaan, bahkan di sebagian daerah ada yang memeriahkannya dengan menanam pohon pinang dengan gantungan berbagai aneka macam makanan dan minuman, untuk selanjutnya dinikmati oleh para undangan. Sangat uefuria. Untuk itu, sangat mungkin dengan keadaan seperti ini banyak menimbulkan spekulasi yang bercorak pula dari masyarakat.
Standardisasi dalam pelaksanaan maulid nabi tersebut adalah, bagaimana kita bisa merubah pola hidup kita ke pola hidup nabi secara universal. Begitulah tujuan utama dari pelaksanaan peringantan maulid tersebut. Namun, apakah semua yang menjadi tujuan tersebut, benar kita jadikan revitalisai untuk menuju ke hidupan nabi? Ini yang mungkin kesannya terlalu ambisius bagi kita yang melaksanakannya untuk menjawab "ya" demi mempertahankan kelestarian peringatan maulid nabi dengan yang tidak melaksanakannya, namun tidak pernah terealisasi dalam kehidupan nyata. Sehingga sifatnya sangat argumentatif, bukan implementatif.
Untuk itu, perlu kiranya dalam pelaksanaan maulid tersebut, kita memperhatikan hal-hal yang sifatnya lebih esensial dari peringatan maulid itu sendiri, sehingga tidak ada kesan, kita mengutamakan hal yang lebih kecil daripada hal yang lebih besar kepentingannya, yang semestinya kita jaga dan kita lestarikan.
Pertama, jaga shalat tepat waktu. Penulis menyaksikan, pelaksanaan maulid berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain, sebagian melaksanakannya sebelum waktu dhuhur, sebagian yang lain dimulai setelah waktu dhuhur tiba. Tapi, yang jelas, kedua-duanya sama-sama berhadapan dengan waktu shalat, yaitu waktu dhuhur bagi yang melaksanakannya sebelum dhuhur, dan waktu asar bagi yang melaksanakan setelah dhuhur. Hal ini perlu mendapatkan perhatian, terutama sekali pihak ulama dan panitia penanggung jawab acara, bagaimana menjaga waktu shalat itu dengan baik dan keberlangsungan shalat tetap menjadi prioritas umat yang hadir, sehingga tidak terabaikan akibat pelaksanaan acara mauludan ini. Jangan sampai kelelahan karena acara meudikeu menyanjung Rasulullah, menjadi penyebab untuk meninggalkan shalat yang menjadi perintah terpenting dari Rasulullah.
Karena ini masalah inti dalam Islam, maka panitia pelaksana tidak boleh apatis terhadap masalah ini, dan ini harus terus disosialisasikan kepada masyarakat. Kesalahan yang sangat besar, bila pihak pelaksana dan penanggungjawab, menganggap masalah ini masalah yang sepele dan masalah sendiri-sendiri (nafsi-nafsi), serta menganggap tidak perlu mendapatkan perhatian yang super ketat. Bila ini terjadi dan dibiarkan terus saja terjadi, maka kita tidak sedang berusaha menuju ke kehidupan nabi, tapi justru kita sedang menutup mata dengan kuat untuk terhalangnya jalan nabi terlihat oleh kita dan orang lain.
Kedua, jangan bercampur-baur laki-laki dan perempuan. Acara maulid merupakan acara yang kita peruntukkan untuk menyampaikan ucapan salam dan sanjungan kepada baginda Nabi. Hal ini harus dijaga dari hal-hal yang yang menyimpang dan mencederai tujuan maulid itu, seperti bercampuraduknya laki-laki dan wanita yang bukan mahram. Hal ini sangat mungkin terjadi, apalagi bila pelaksanaan acara maulid tersebut dilaksanakan secara besar-besaran seperti maulid kabupaten, maulid mahasiswa, dan acara maulid-maulid lain yang dilaksanakan oleh komunitas-komunitas tertentu lainnya.
Untuk itu, masalah ini juga masalah yang harus menjadi prioritas kita untuk mengantisipasinya dengan baik. Memenej acara sedemikian rupa, sehingga tidak akan terjadi sesuatu yang tidak boleh terjadi, apalagi di Aceh merupakan Nanggroe percontohan Islam di Nusantara. Kita upayakan pelaksanaan maulid di Aceh akan memiliki nilai integritas tinggi di mata agama dan di mata daerah lain di Indonesia.
Ketiga, jaga kemurnian dan kesucian mesjid. Mesjid merupakan tempat suci yang diperuntukkan untuk pelaksanaan shalat. Dalam pelaksanaan maulid, sebaiknya pihak pelaksana acara, tidak menggunakan mesjid sebagai tempat berlangsungnya acara (meudike lam mesjid), karena disamping dikawatirkan saat pembagian kenduri di akhir acara bisa mengakibatkan terkotorinya mesjid dengan kuah-kuah makanan, plastik dan sampah-sampah, tidak terkecuali abu dan puntung rukok. Juga, dapat mengganggu orang yang melaksanakan shalat di dalam mesjid, padahal sejatinya mesjid diperuntukkan untuk shalat, dan setiap kegiatan yang bisa mengganggu pelaksanaan orang shalat di dalam mesjid, maka hal itu harus dihentikan, seperti membaca quran dengan suara yang tinggi.
Keempat, hindari sifat mubazir. Penulis, sering mengingatkan adik-adik santri dulunya, supaya tidak membawa makanan setelah selesai acara, yang dikawatirkan tidak akan termanfaatkan semuanya (mubazir). Boleh membawa makanan sebanyak-banyaknya, tapi harus siap untuk mengantarkan kepada fakir miskin di sekitarnya, supaya tidak terbuang percuma. Kesempatan seperti ini, memang sudah menjadi sasaran pengunjung acara, bagaimana bisa mendapatkan makanan sebanyak-banyaknya, walaupun dia sadar itu semua belum tentu dibutuhkan, bahkan tidak jarang kita menyaksikan ada acara perebutan makanan oleh pengunjung yang hadir. Sungguh ini fenomena yang sangat-sangat tidak Islami dan menjatuhkan citra Islam di mata orang lain.
Untuk itu, demi keberlangsungan peringatan maulid dalam bingkai agama yang benar, mari sama-sama kita buat perubahan terhadap kekurangan-kekurangan yang ada, dengan sistem ivolusioner yang sistematis dan kontinyu, sehingga setiap pekerjaan yang kita lakukan akan menuai faidah bagi kita dan orang lain. Dan yang lebih penting, jerih payah kita dalam melaksanakan acara ini benar-benar akan membawa efek perubahan bagi kita selanjutnya, bukan justru sebaliknya, mengharap keuntungan besar, malah kerugian besar yang kita temui. "bak mita laba ube peh, metemeu paleuh ube pha".
Akhirnya, mari kita bermaulid bagi yang melaksanakannya dengan sebaik-baiknya, dengan menjaga nilai-nilai serta adab-adab yang telah diatur sedemikian rupa dalam Islam. Dan mari kita hindari perpecahan yang hanya akan memecah belah persaudaraan kita. Kita berbeda bukan untuk berperang, tapi kita berbeda untuk bersatu dan untuk membuktikan keindahan Islam itu sendiri. Wallahu al-Musta'an!...
Penulis: adalah alumnus Dayah Al-Madinatuddiniyah Babussalam, Blang Bladeh, Bireun. Dulu, guru Pesantren Syech. H. M. Waly al-Chalidy, Serambi Mekkah, Meulaboh Aceh-Barat.